AL-ALÛSÎY SANJUNGAN DAN KECENDERUNGANNYA KEPADA SALAFÎY

elhijaz
elhijaz 21 Min Read

AL-ALÛSÎY

Sanjungan dan kecenderungannya terhadap

SALAFÎY

Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas secara ringkas topik yang sangat menarik berkaitan dengan ahli tafsir ternama al-Alûsîy dan sejauh mana kecenderungan serta dukungannya terhadap manhaj salaf .

Selama ini kita ketahui bahwa al-Alûsîy adalah seorang ahli tafsir yang berhaluan sufi dari tarikat naqsyabandiyah dengan corak tafsirnya isyâriy. Bahkan tidak sedikit beliau menukil perkataan tokoh ekstrim dari kalangan sufi seperti Ibnu ‘Arabiy.

Namun bagaimanakah metodologi al-Alûsîy dalam menyikapi penafsiran ayat-ayat mutasyâbihat seperti asma dan sifat Allah? dan adakah pengaruh gerakan pembaharuan Syaikh Muhammad bin Abdilwahhab yang pada saat itu merupakan masa-masa berkembangnya dakwah salafiyah diberbagai daerah termasuk diBaghdad?

Sebelum itu semua, kita katakan bahwa siapa saja yang menelaah kitab tafsir:

روح المعاني في تفسير القرآن العظيم والسبع المثاني

(Rûh al-Ma’ânîy Fi Tafsîr Al-Qur’an ‘Adzhîm Wa as-Sab’i al-Matsânîy), pastilah dia akan terkagum dan terlintas dalam kesimpulan bahwa karya ini menggambaran sosok penulis yang Allah karuniakan kepadanya kecerdasan yang luar biasa. Apalagi saat pembaca dan penelaah saat membuka helai demi helai riwayat perjalanan ilmiyahnya.

Maka tidaklah berlebihan jika cucunya sendiri Abu al-Ma’aliy as-Salafiy menyanjungnya dengan syair yang indah sebagaimana dalam perkataannya:

“Sungguh beliau(al-Alûsîy) adalah orang yang memiliki kepintaran dan kecerdasan yang tidak dikalahkan oleh mentari, memiliki otak yang melebihi cahaya kilat, memiliki daya fikir yang lebih tajam dari pedang, dia bagaikan bintang dan anak panah yang melesat tepat pada sasaran”[1]

Nama, kunyah, gelar, penisbatan, kelahiran dan wafatnya.

Dialah Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddîn Mahmûd bin Abdullah bin Mahmûd bin Darwîsy bin ‘Âsyûr al-Alûsîy al-Mufassir

Kunyah beliau

adalah Abu ats-Tsanâ’

Gelar beliau

adalah Syihâbuddîn.

nama dan nasab beliau

adalah Mahmûd bin Abdullah bin Mahmûd bin Darwîsy bin ‘Âsyûr. Nasab beliau tersambung sampai kepada Husain bin ‘Ali bin Abi Thâlib.

Sementara nasab nenek dari jalur ayahnya terhubung kepada Hasan bin ‘Ali bin Abi Thâlib.

Penisbatan al-Alûsiy

Ada perbedaan pendapat terkait penisbatan namanya kepada al-Alûsiy.

Ada yang mengatakan al-Alûsîy (اَلْأَلُوْسِي) tanpa madd dihuruf hamzahnya, kata ini disandarkan kepada sebuah desa didekat sungai efrat yang bernama Alûs (أَلُوْس) dan ada yang mengatakan Ulûs (أُلُوْس) dengan dhammah pada huruf hamzah.

Dan ada yang mengatakan al-Âlûsîy (الآلوسي) dengan madd pada huruf hamzah, yang mana kata ini disandarkan kepada sebuah desa yang bernama Âlûsah (آلوسة).

Lahir beliau

Beliau lahir di Bagdad, tepatnya sebelum masuk waktu shalat jum’at tanggal 14 Sya’ban tahun 1217 Hijriyah. Taqdir Allah yang memilihnya terlahir disebuah keluarga akademisi dengan keilmuan agama. [2]

Wafat beliau

Dan wafat setelah shalat zhuhur pada tanggal 25 Dzilqa’dah 1270 H.[3]

Al-Alûsîy dan Salafîy

Berbicara tentang aqidah tokoh satu ini memang agak sedikit membuat kita bingung dalam menilai, karena pendapat-pendapat beliau diberbagai permasalahan sulit untuk dirangkai menjadi satu kesimpulan. Hal ini tidaklah mengherankan melihat latar belakang beliau baik lingkungan, keluarga, guru-guru, politik dan sosial saat itu sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan ideologinya.

Ditambah lagi saat beliau mencapai puncak keilmuannya membawa beliau kepada tingkatan ijtihad semakin membelenggu kita untuk bisa menghukumi aqidah atau keyakinan yang beliau anut.

Setidaknya ada empat madzhab aqidah mendasar yang terserap dalam keyakinannya:

  1. madzhab salaf.
  2. madzhab tafwîdh.
  3. madzhab al-asy’ariyah.
  4. madzhab tasawwuf.

Kita akui bahwa al-Alûsîy adalah ulama yang dikenal keikhlasannya dalam mendakwahkan yang hak dengan selalu mengedepankan kebenaran yang berdasarkan dalil. Beliau juga tidak memiliki kencenderungan untuk fanatik kepada madzhab yang sesat. Oleh karenanya ada yang mengakatakan bahwa secara garis besar aqidah beliau adalah aqidah salaf.[4]

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Dr. Muhammad Husein adz-Dzahabiy[5] dalam kitabnya “at-Tafsîr wa al-Mufassirûn”, Muhsin Abdulhamîd dalam kitabnya “al-Alûsîy Mufassiran” dan Dr. Abdullah al-Bukhârîy[6] dalam kitabnya “Juhûdu Abi ats-Tsanâ’ al-Alûsîy fi ar-Raddi ‘Ala ar-Râfidhah”.

Bukti-bukti yang memperkuat kecenderungan al-Alûsîy kepada manhaj salaf adalah sebagai berikut:

  1. Wasiat beliau kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh dengan aqidah salaf.

Beliau berkata:

يَا بني عَلَيْكُمْ فِي بَابِ الْعَقَائِدِ بِعَقِيْدَةِ السَّلَفِ, فَإِنَّهَا أَسْلَمُ بَلْ أَنْصَفُ, يُعْلَمُ أَنَّهَا أَيْضًا أَعْلَمُ وَأَحْكَمُ, لِأَنَّهَا أَبْعَدُ عَنِ الْقَوْلِ عَلَى الله عَزَّ وَجَلَّ بِمَا لَا يُعْلَمُ, وَأَنَّى لِعَنَاكِبِ الْأَفْهَامُ وَالْأَوْهَامُ أَنْ تَعْرُجَ بِلُعَابِهَا إِلَى حِمَى ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ, هَيْهَات هَيْهَات ذَلِكَ حِمَى مَنِيْعٌ جَلِيْلٌ, حُمِيَ حَتَّى عَنْ جِبْرِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ

“Wahai anakku, wajib bagimu untuk mengikuti aqidah salaf, karena sesungguhnya aqidah salaf itu lebih selamat dan lebih inshâf (obyektif). Aqidah salaf juga lebih mengetahui dan lebih kokoh dan lebih bijak, karena aqidah salaf lebih jauh dari berkata tentang Allah tanpa ilmu. Lantas bagaimana mungkin bisa memahami sesuatu yang telah dijaga kerahasiannya oleh Allah, sementara Jibril dan Isrâfîl saja tidak bisa menembusnya”[7]

  1. Kegembiraan Al-Alûsîy kepada madzhab salaf

Nampak sekali kegembiraan Al-Alûsîy saat mengetahui gurunya Ârif Hakamât berpendapat sesuai dengan pendapat salaf, hal ini beliau ungkapkan dalam bab penafsiran ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Beliau menjelaskan dalam kitabnya:

مَا جَرَى مِنْ مُحْكَمِ الْكَلَامِ فِي أَمْرِ الْمُتَشَابِهِ.

فَأَحْسَسْتُ أَنَّ لَهُ مَيْلاً إِلَى مَذْهَبِ السَّلَفِ الَّذِي تَمَذْهَبَ أَكْثَرُ الْمُحَقِّقِيْنَ بِهِ. فَشَكَرْتُ رَبِّي. وَكَادَ يَطِيْرُ مِنْ مَزِيْدِ الْفَرْحِ قَلْبِي. فَقُلْتُ يَا مَوْلَايَ يَشْهَدُ لحَقِّيَةِ مَذْهَبِ السَّلَفِ فِي الْمُتَشَابِهَاتِ وَهُوَ إِجْرَاؤُهَا عَلَى ظَوَاهِرِهَا مَعَ التَّنْزِيْهِ) لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (إِجْمَاعُ الْقُرُوْنِ الثَّلَاثَةِ الَّذِيْنَ شُهِدَ بِخَيْرَتِهِمْ خَيْرُ الْبَشَرِ صَلَّى الله تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الشَّارِعُ أَرَادَ بِهَا ذَلِكَ.

“Hal yang berkenaan tentang pembahasan muhkam dan mutasyâbih. Aku merasakan bahwasanya beliau cenderung kepada madzhab salaf, madzhab yang banyak dianut oleh para muhaqqiq. Maka aku bersyukur kepada Rabbku. Hampir saja hatikku terbang melayang karena kegembiraanku yang berlebihan. Dan aku berkata: aduhai tuan guruku bersaksi akan kebenaran madzhab salaf dalam permasalahan mutasyâbihât yaitu menetapkan dan beriman kepada dhzahir ayat dengan tanzîh atau mensucikan maknanya, tiada satupun yang mirip denganNya. Ini merupakan ijma’ generasi ditiga abad pertama yang telah direkomendasikan kebaikannya oleh manusia terbaik ialah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini menunjukkan bahwa pemilik syariat ini menginginkan pemahaman yang seperti itu”[8]

  1. Pengakuan beliau yang bangga dengan madzhab salaf

Hal ini dapat kita ketahui bagaimana sikap beliau yang berbangga diri dengan madzhab salaf saat beliau menafsirkan sifat al-Hayyu dalam firman Allah:

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ….

“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang maha hidup tegak mengurus (makhluk-Nya) ….” (Q.S al-Baqarah [2]:255)

Beliau berkata dalam tafsirnya:

فَحَيَاةُ كُلِّ حَيٍّ حَقِيْقَةٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى مَا يَلِيْقُ بِهِ وَلَيْسَ كَمِثْلِ الله تَعَالَى شَيْءٌ وَكَأَنِّى بِكَ تَفْهَمُ مِنْ كَلَامِي اَلْمَيْلَ إِلَى مَذْهَبِ السَّلَفِ فِي مِثْلِ هَذِهِ الْمَوَاطِنِ, فَلْيَكُنْ ذَلكَ فَهِمَ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمُ. -وَيَا حَبَّذَا هِنْدٌ وَأَرْضُ بِهَا هِنْدٌ-.

“Makna dari maha hidupnya Allah adalah hakiki sesuai dengan dzatNya, tidak ada sesuatu apapun yang mirip dengan Allah, seolah engkau memahami dalam perkataanku bahwa aku cenderung kepada pendapat madzhab salaf dalam perihal yang seperti ini. Duhai kaum hendaklah serupa dalam memahaminya –Duhai Hindun dan bumi yang ada padanya Hindun-“[9]

Nampak sekali kebanggaan beliau pada potongan bait syair yang beliau ungkapkan dalam gaya bahasa yang menggunakan ithnâb diakhir perkataanya, yang didalamnya mengandung makna takjub berupa kata yang diulang-ulang.[10]

  1. Ungkapan beliau bahwa ta’wil adalah berbicara tentang Allah tanpa ilmu

وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَن الأَسْلَمُ تَرْكُ التَّأْوِيْلِ فَإِنَّهُ قَوْلٌ عَلَى الله تَعَالى مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ وَلَا تُؤَوَّلُ إِلَّا مَا أَوَّلَهُ السَّلَفُ وَنَتَّبِعُهُمْ فِيْمَا كَانُوا عَلَيْهِ فَإِنْ أَوَّلُوا أَوَّلْنَا وَإِنْ فَوَّضُوا فَوَّضْنَا وَلَا نَأْخُذُ تَأْوِيْلَهُمْ لِشَيْءٍ سُلَّمًا لِتَأْوِيْلِ غَيْرِهِ, وَقَدْ رَأَيْتُ بَعْضُ الزَّنَادِقَةِ الْخَارِجِيْنَ مِنْ رُبْقَة الإِسْلَامِ يَضْحَكُونَ مِنْ هَذِهِ الآيَةِ مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى : ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَيَسْخَرُوْنِ مِنَ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ لِذَلِكَ وَهُوَ جَهْلٌ فَظِيْعٌ وَكُفْرٌ شَنِيْعٌ نَسْأَلُ الله تَعَالَى الْعِصْمَةَ وَالتَّوْفِيْقَ

“Dan engkau mengerti bahwa yang lebih selamat adalah meninggalkan ta’wil, karena sesungguhnya ta’wil itu masuk kedalam golongan berbicara tentang Allah tanpa ilmu, kita tidak akan melakukan ta’wil kecuali apa yang telah dita’wil oleh kalangan salaf dan kita mengikuti mereka apa saja yang ada pada mereka. seandainya mereka melakukan ta’wil maka kita akan melakukannya juga, jika mereka melakukan tafwîdh, akan tetapi kita tidak mengambil ta’wilan mereka agar tidak membuka celah ta’wil selain mereka. sungguh aku telah melihat apa yang telah dilakukan oleh para zindiq yang telah keluar dari islam, mereka mentertawakan ayat ini padahal Allah berfirman ثم استوى على العرش mereka merendahkan sebagian Al-Qur’an, ini merupakan kebodohan nyata dan kekufuran yang keji, kita memohon penjagaan dan taufiq dari Allah”[11]

  1. Al-Alûsîy menetapkan sifat-sifat Allah seperti Tangan, Istiwa’, Ghadhab, Rahmah dan Fauqiyah.

Dalam penetapan sifat tangan dan istiwa beliau juga berpendapat dengan pendapat salaf, bahkan beliau menghukumi bodoh kepada kelompok yang memusuhi pendapat salaf dalam permasalahan ini. Beliau berkata:

وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ الآيَةَ مِنَ الْمُتَشَابِهِ عِنْدَ السَّلَفِ وَهُمْ لَا يَجْعَلُوْنَ الْيَدَ مُضَافَةً إِلَيْهِ تَعَالَى بِمَعْنَى الْقُدْرَةِ أَفْرَدَت كَيَدِ الله فَوْقَ أَيْدِيهِمْ أَو ثُنِيَتْ كَخَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَوْ جُمِعَتْ كَمَا هُنَا, بَلْ يُثْيِبُتونَ الْيَدَ لَهُ عَزَّ وَ جَلَّ كَمَا أَثْبَتَهَا لِنَفْسِهِ مَعَ التّنَزْيِهِ النَّاطِقِ بِهِ قَوْله سُبْحَانَه: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَارْتَضَاهُ كَثِيْرٌ مِمَّن وَفَّقَهُ الله تَعَالَى مِنَ الْخَلْقِ وَلَا أَرَى الطَّاعِنِيْنَ عَلَيْهِم إِلَّا جَهَلَةً.

“Dan engkaupun mengetahui bahwa ayat ini bagian dari ayat mutasyâbihât, yang mana kaum salaf tidak menjadikan kata “tangan” disini dengan arti qudrah, baik saat kata itu berbentuk tunggal seperti –tangan Allah diatas tangan-tangan mereka- atau dengan bentuk dual seperti – aku menciptakan dengan kedua tanganku- ataupun berbentuk plural seperti dalam ayat ini. Akan tetapi mereka menetapkan tangan bagi Allah sebagaimana yang Allah tetapkan sendiri dengan tanzîh (mensucikan dzat hakikatNya tanpa menta’wilnya) sebagaimana firmanNya tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Allah. Dan banyak sekali yang Allah beri taufiq untuk berpendapat seperti ini. Dan sungguh tidaklah aku melihat orang-orang yang mencela pendapat ini kecuali karena kebodohan.”[12]

Sementara pernyataan beliau terkait menafsirkan makna istiwâ’

Beliau tuliskan dalam kitabnya “Gharâibu al-Ightirâr” saat menjelaskan perkataan imam malik, beliau berkata:

اَلاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمُ الْمَعْنَى وَوَجْهُ نِسْبَتِهِ إِلَى الْحَقِّ تَعَالَى المجَامِعُ لِلتَّنْزِيْهِ مَجْهُوْلٌ لِأَنَّ الصِّفَاتِ تُنْسَبُ إِلىَ كُلِّ ذَاتٍ بِمَا يِلِيْقُ بِتِلْكَ الذَّاتِ وَذَاتُ الحَقِّ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ فِنِسْبَةِ الصِّفَاتِ الْمُتَشَابِهَةِ إِلَيْهِ تَعَالَى لَيْسَتْ كَنِسْبَتِهَا إِلَى غَيْرِهِ عَزَّ وَجَلَّ لَأَنَّ كُنْهَ ذَاتِ الْحَقِّ لَيْسَ مِنْ مُدْرَكَاتِ العُقُوْلِ لِتَكُونَ صِفَتُهُ مِنْ مُدْرَكَاتِهَا.

“Arti istiwa’ (bersemayam) itu sebagaimana yang dimaklumi (secara bahasa), dan penyandaran istiwâ’ kepada Allah (untuk tanzîh Allah dari penyerupaan makhluk) makna hakikatnya tidak diketahui. Karena segala sifat yang disandarkan kepada sesuatu akan bermakna sesuai dengan dzat tersebut sebagaimana penyandarannya kepada selain Allah, karena hakikat dzat Allah tidak bisa diraba oleh akal atau panca indra manusia.”[13]

Pendapat beliau tentang sifat ghadhab

Beliau menukilkan perkataan salah satu tokoh mufassir mu’tazilah (az-Zamakhsyariy) yang menta’wil sifat ghadhab (marah) dengan makna “keinginan untuk membalas pelaku maksiat dan menurunkan hukuman bagi mereka”.

Al-Alûsiy membantah ta’wilan tersebut dengan berkata:

وَأَنَا أَقُولُ كَمَا قَالَ سَلَفُ الأُمَّةِ هُوَ صِفَةٌ لِلّهِ تَعَالَى لَائِقَةٌ بِجَلَالِ ذَاتِه لَا أَعْلَمُ حَقِيْقَتَهَا وَلَا كَيْفَ هِي.

“Aku berkata sebagaimana para salaf umat ini yaitu bahwa ghadhab adalah sifat Allah yang sesuai dengan kebesaran dzatNya, aku tidak mengetahui hakikatnya dan bagaimana kaifiyahnya.” [14]

Sifat Rahmat menurut al-Alûsiy

Begitu juga pendapat beliau dalam menafsirkan sifat rahmat seperti yang dikatakannya bahwa sifat rahmat adalah sifat yang sesuai dengan kesempurnaan dzatNya seperti yang berlaku pada seluruh sifat-sifatNya tanpa mengqiyaskan sifat itu dengan menyerupakan dengan sifat makhluk.[15]

Sifat Fauqiyah (Bahwa Allah diatas)

Beliau juga menetapkan sifat fauqiyah bagi Allah sebagaimana para salaf menetapkannya. Beliau berkata:

وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ مَذْهَبَ السَّلَفِ إِثْبَاتُ الْفَوْقِيَةِ للهِ تَعَالَى كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ الطَّحَاوِي. وَغَيْرُهُ وَاسْتَدَلُّوا لِذلِكَ بِنَحْوِ أَلْفِ دَلِيْلٍ.

“Dan engkau mengetahui bahwa sesungguhnya madzhab salaf menetapkan sifat fauqiyah bagi Allah, sebagaimana yang dituliskan oleh imam ath-Thahâwîy dan lainnya yang membawakan seribu dalil dalam masalah ini”[16]

  1. Sanjungan beliau kepada imam abu al-Hasan al-Asy’ariy yang rujuk kepada aqidah salaf.

Al-Alûsîy mengatakan bahwa diantara ulama yang rujuk kepada aqidah salaf adalah al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ariy.

Beliau memaparkan pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’arîy yang mengatakan dalam sebuah karya terakhir yang beliau tulis yaitu kitab “al-Ibânah” bahwasanya:

“beliau berpegang teguh dengan kitab dan sunnah serta apa yang diriwayatkan dari shahabat, tâbi’in dan para imam hadîts yang diantaranya adalah imam Ahmad bin Hambal

Setelah menukilkan pernyataan ini beliau berkata:

وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي أَنَّهُ سَلَفِي العَقِيْدَةِ. وَكَيْفَ لَا وَالإِمَامُ أَحْمَدُ عَلَمٌ فِي ذَلِكَ

“Yang demikian itu sudah jelas bahwa dia seorang yang berakidah salaf. Bagaimana tidak -kita ketahui- sementara imam Ahmad adalah figur yang dikenal dengan aqidah salaf.”

Kritik al-Alûsîy terhadap asy-Ariyah

Kemudian beliau mengkritisi kalangan Asy’ariyah yang tidak mau rujuk kepada manhaj salaf sebagaimana imam mereka rujuk, beliau berkata:

وَيُعْلَمُ مِنْ هَذَا أَنَّ مَا عَلَيْهِ الأَشَاعِرَة غَيْرُ مَا رَجَعَ إِلَيْهِ إِمَامُهُمْ فِي آخِرِ أَمْرِهِ مِن اِتِّبَاعِ السَّلَفِ الصَّالِحِ فَلْيَتَّهِمُ رَجَعُوا كَمَا رَجَعَ. وَاتَّبَعُوا مَا اتَّبَعَ.

“Dari sini dapat diketahui bahwa aqidah aliran asy’ariyah yang berkembang sekarang berbeda dengan aqidah imam mereka yang diakhir hidupnya rujuk untuk mengikuti salafushshâlih. Maka hendaklah mereka rujuk sebagaimana imam mereka rujuk, dan mengikuti apa yang diikuti oleh imam mereka.”[17]

Begitu juga bantahan beliau terhadap keyakinan al-Asyâ’irah bahwa perbuatan Allah tidak boleh dita’lîl menunjukkan bahwa beliau condong kepada madzhab salaf dalam permasalahan aqidah.

Beliau membantah pendapat ini dengan membawakan hujjah yang dipegang para salaf yang berpendapat bahwa perbuatan Allah dita’lîl.

Lalu beliau berkata:

وَأَنَا أَقُوْلُ: بِمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ السَّلَفُ لِوُجُوْدِ التَّعْلِيْلِ فِيْمَا يَزِيْدُ عَلَى عَشْرَةِ آلَافِ آيةٍ وَحدِيثٍ, وَالْتِزَامُ تَأْوِيْلِ جَمِيْعِهَا خُرُوْجٌ عَنِ الْإِنْصَافِ، وَمَا يَذْكُرُهُ الْحَاضِرُوْنَ مِنَ الْأَدِلَّةِ يُدْفَع بِأَدْنَى تَأَمُّلٍ كَمَا لَا يَخْفَى عَلَى مَنْ طَالَعَ كُتُبَ السَّلَفِيِيْنَ عَلَيْهِمُ الرَّحْمَةُ.

“Dan aku berkata seperti apa yang diyakini salaf yaitu dengan adanya ta’lîl, dan dalil-dalil yang menjelaskan itu lebih dari sepuluh ribu ayat dan hadits. Dan tetap menta’wil kesemuanya ini adalah sebuah tindakakan yang keluar dari sikap objektif dalam menilai suatu masalah. Adapun alasan yang disebutkan oleh kalangan yang mentiadakan ta’lîl cukup bisa disanggah tanpa memerlukan pemikiran yang dalam, sebagaimana hal itu sudah bukan hal yang tersembunyi lagi bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab salafiyun –semoga Allah merahmati mereka-“[18]

Demikianlah beberapa indikator yang menunjukkan sisi lain pemikiran Al-Alûsîy terhadap aqidah salaf dalam memahami permasalahan yang kita bahas.

“Namun demikian semua ini bukanlah sebuah rekomendasi untuk kita mencerna keseluruhan apa yang dituliskan dalam kitab tafsir beliau, yang kita ketahui disesaki dengan pemikiran sufi, naqsyabandiyah, corak isyâri, asy-‘ariyah dan pemahaman-pemahaman lainnya yang perlu kita teliti akan kesesuaiannya dengan manhaj salaf ahlusunnah waljamaah.”

Allahu ta’ala A’lam

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abduhamîd Muhsin, al-Âlûsîy mufassiran, (Bagdad: Mathba’atu al-Ma’ârif, cet. 1968 M).
  2. ad-Dzahabîy Muhammad Husein, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2012) Jilid 1.
  3. al-Alûsîy Abu al-Ma’âlîy, al-Misk al-Adzfar fi Nasyri Mazâyâ al-Qarni ats-Tsânîy ‘Asyar wa atsTsâlits ‘Asyar, (Riyadh: Dâr al-‘Ulûm li ath-Thibâ’ah wa an-Nasyr, Cet. 1982 M) h. 69.
  4. al-Alûsîy Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd, Gharâibu al-Lightirâr, (Baghdad: Mathba’ah asy-Syâbandar, tt.).
  5. al-Alûsîy Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd, Inbâ’ al-Anbâ’ bi Athyab al-Anba’, (Bathnatha: Dâru ash-Shahâbah li at-Turâts, Cet. 1987 M).
  6. al-Alûsîy Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005)
  7. al-Bukhâriy Abdullah, Juhûdu Abi ats-Tsanâ’ al-Alûsiy fi ar-Radd ‘Ala ar-Râfihdah, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affân, Cet. 1999 M).
  8. al-Hâsyimîy Sayyid Ahmad, Jawâhiru al-Balâghah, (Beirut: al-Maktabh al-‘Ashriyah, tt).

disusun oleh:

Imron Rosyid Astawijaya

Pengasuh EL-HIJAZ ISLAMIC AND ARABIC SCHOOL

=====================

[1] Abu al-Ma’âlîy al-Alûsîy, al-Misk al-Adzfar fi Nasyri Mazâyâ al-Qarni ats-Tsânîy ‘Asyar wa atsTsâlits ‘Asyar, (Riyadh: Dâr al-‘Ulûm li ath-Thibâ’ah wa an-Nasyr, Cet. 1982 M) h. 69.

[2] Abdullah al-Bukhâriy, Juhûdu Abi ats-Tsanâ’ al-Alûsiy fi ar-Radd ‘Ala ar-Râfihdah, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affân, Cet. 1999 M) h. 49, Jilid 1.

[3] Muhsin Abduhamîd, al-Âlûsîy mufassiran, (Bagdad: Mathba’atu al-Ma’ârif, cet. 1968 M) h.52.

[4] Abdullah al-Bukhâriy, Juhûdu Abi ats-Tsanâ’ al-Alûsiy fi ar-Radd ‘Ala ar-Râfihdah, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affân, Cet. 1999 M) h. 90, Jilid 1.

[5] Muhammad Husein ad-Dzahabîy, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2012) h. 302, Jilid 1.

[6] Abdullah al-Bukhâriy, Juhûdu Abi ats-Tsanâ’ al-Alûsiy fi ar-Radd ‘Ala ar-Râfihdah, (Kairo: Dâr Ibnu ‘Affân, Cet. 1999 M) h. 90, Jilid 1.

[7] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Inbâ’ al-Anbâ’ bi Athyab al-Anba’, (Bathnatha: Dâru ash-Shahâbah li at-Turâts, Cet. 1987 M) h. 18.

[8] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Gharâibu al-Lightirâr, (Baghdad: Mathba’ah asy-Syâbandar, tt.) h. 384.

[9] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 12, Jilid 3.

[10] Sayyid Ahmad al-Hâsyimîy, Jawâhiru al-Balâghah, (Beirut: al-Maktabh al-‘Ashriyah, tt) h. 201.

[11] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 226, Jilid 14.

[12] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 67, Jilid 12.

[13] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Gharâibu al-Lightirâr, (Baghdad: Mathba’ah asy-Syâbandar, tt.) h. 387.

[14] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 147, Jilid 1.

[15] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 100, Jilid 1.

[16] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 148, Jilid 4.

[17] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Gharâibu al-Lightirâr, (Baghdad: Mathba’ah asy-Syâbandar, tt.) h. 385-386.

[18] Abu ats-Tsanâ’ Syihâbuddin as-Sayyid Mahmûd al-Alûsîy al-Bagdâdiy, Rûh al-Ma’ânîy fi tafsîr Al-Qur’an wa as-Sab’i al-Matsâniy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, Cet. 2005) h. 333, Jilid 13.

Share This Article