NIAT DAN IKHLAS
Definisi Niat Secara Bahasa
Niat نِيَّةٌ berasal dari akar kata نوى yang memiliki arti antara lain:
- العَزْمُ :artinya “keinginan hati yang kuat”[1].
- مَقْصِدُ لِشَيْءٍ :artinya “maksud atau tujuan akan sesuatu”
- اَلنَّوَى اَلتَّحَوُّلُ مِنْ دَارٍ إِلَى دَارٍ :artinya “berpindah dari satu tempat menuju ketempat lain”[2].
Berikut penafsiran ulama tentang definisi niat menurut bahasa:
- Imam an-Nawawiy berkata:
قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ اَلنِّيَّةِ اَلْقَصْدُ وَعَزْمُ الْقَلْبُ
“ahli bahasa berkata: niat adalah maksud dan keinginan hati yang kuat”.[3]
- Imam Ibnu Rajab berkata:
اَلنِّيَّةُ فِي اللُّغَةِ نَوْعٌ مِن الْقَصْدِ وَالْإِرَادَةِ
“niat secara bahasa bermakna maksud dan keinginan”.[4]
- Imam as-Suyuthiy berkata:
عبارة عن فعل القلب
“niat merupakan gambaran dari perbuatan hati”[5].
Definisi Niat Secara istilah
Dikatakan oleh Imam al-Baidhawiy bahwa niat adalah “Dorongan hati yang terpancar dalam perbuatan yang sesuai dengan tujuan yang benar, seperti mengambil manfaat atau menolak mudharat baik pada saat itu juga atau pada masa yang akan datang. Niat juga adalah sebuah keinginan yang mengarah kepada perbuatan untuk mengharap ridha Allah atau pelaksanaan akan perintahnya“[6]
Dua Macam Niat Menurut Tujuannya
Sebagian ulama membagi niat menjadi dua macam:
- Niat terhadap jenis perbuatannya.
Disini niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah dengan ibadah yang lain, seperti antara shalat dhuhur dan ashar ini dibedakan oleh niat. Atau pembeda antara ibadah dan kebiasaan, seperti antara mandi janabah dan mandi biasa sekedar untuk membersihkan dan menyegarkan badan ini dibedakan oleh niat. Maka pembahasan ini lebih berkaitan dengan permasalah fiqhiyah.
- Niat terhadap tujuan dilakukannya perbuatan itu.
Disini niat sebagai pembeda antara untuk atau karena siapa dia melakukan perbuatan tersebut, apakah karena Allah semata atau untuk selain Allah, atau tercampur untuk Allah dan selain Allah. Maka pembahasan ini lebih berkaitan dengan permasalahan aqidah yaitu keikhlasan.[7]
Definisi Ikhlas Secara Bahasa
Ikhlas berasal dari kata خلص yang bermakna تَنْقِيَةُ الشَّيْءِ وَتَهْذِيْبِهِ : “Memurnikan sesuatu dan menjernihkannya”[8], juga bermakna صفا “bening” jika kita katakan خلص الماء أي صفا “murninya air yaitu bening”.[9]
Definisi Ikhlas Secara Istilah
Dari pentingnya sebuah keikhlasan dalam hidup ini para ulama memberikan perhatian besar untuk bisa memujudkan, menerapkan dan mendakwahkan apa yang dinamakan dengan sebuah keihklasan. Namun kita ketahui bahwa urusan ikhlas adalah rahasia Allah sebagaimana dalam atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Qayyim bahwasanya Allah berfirman:
اَلْإِخْلَاصُ : سِرٌّ مِنْ سِرِّي اِسْتَوْدَعْتُهُ قَلْبَ مَنْ أَحْبَبْتُهُ مِنْ عِبَادِي
“Ikhlas adalah rahasiaku yang kutitipkan kepada hati hamba yang aku cintai.”[10]
Ikhlas Menurut Para Ulama:
اَلْإِخْلَاصُ هَوِ إِفْرَادُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ بِالْقَصْدِ فِي الطَّاعَةِ
“Ikhlas adalah menjadikan Allah satu-satunya tujuan dalam ketaatan”
اَلْإِخْلَاصُ تَصْفِيَةُ الْفِعْلِ عَنْ مُلَاحَظَةِ الْمَخْلُوْقِيْن
“Ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari perhatian orang”
اَلْإِخْلَاصُ اَلتَّوَقِّي مِنْ مُلَاحَظَةِ الْخَلْقِ حَتَّى عَنْ نَفْسِكَ وَ التَّنَقِّي مِنْ مُطَالَعَةِ النَّفْسِ فَالْمُخْلِصُ لَا رِيَاءَ لَهُ وَالصَّاِدقُ لَا إِعْجَابَ لَهُ وَلَا يَتِمُّ الإِخْلَاصُ إِلَّا بِالصِّدْقِ وَلَا الصِّدْقُ إِلَّا بِاْلِإخْلَاصِ وَلَا يَتِمَّانِ إِلَّا بِالصَّبْرِ
“Ikhlas adalah menjaga atau mencegah diri dari perhatian orang, dan bersih dari pamer. Maka orang yang ikhlas tidaklah riya dan orang yang jujur dalam keikhlasannya tidak akan ujub, maka ikhlas tidak akan sempurna kecuali dengan hati yang jujur dan kejujuran hati itu tidak akan ada kecuali dengan keikhlasan dan keduanya itu tidak akan sempurna kecuali dengan kesabaran”
مَنْ شَهِدَ فِي إِخْلَاصِهِ الإِخْلَاصَ اِحْتَاجَ إِخْلَاصُهُ إِلَى إِخْلَاصٍ, فَنُقْصَانُ كُلِّ مُخْلِصٍ فِي إِخْلَاصِهِ, بِقَدْرِ رُؤْيَةِ إِخْلَاصِهِ فَإِذَا سَقَطَ عَنْ نَفْسِهِ رُؤْيَةُ الْإِخْلَاصِ صَارَ مُخْلِصًا
“Siapa saja yang memandang bahwa keikhlasannya itu ikhlas maka keikhlasannya itu membutuhkan keikhlasan. Dan berkurangnya rasa ikhlas itu tergantung dengan anggapannya bahwa dia ikhlas, jika anggapan itu sudah hilang dari dirinya maka dia akan menjadi seorang yang ikhlas”
اَلْإِخْلَاصُ اِسْتِوَاءُ أَعْمَالِ الْعَبْدِ فِي الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ. وَالرِّيَاءُ أَنْ يَكُوْنُ ظَاهِرُهُ خَيْرًا مِنْ بَاطِنِهِ, وَالصِّدْقُ فِي اْلِإخْلَاصِ أن يكون باطنه أعمر من ظاهره
“Ikhlas adalah keseimbangan perbuatan seseorang antara dhahir dan batinnya, riya adalah dhahirnya lebih baik dari batinnya. Dan keikhlasan yang benar adalah saat batin seseorang lebih hidup dibanding dhzahirnya.”
الإخلاص نسيان رؤية الخلق بدوام النظر إلى الخالق ومن تزين للناس بما ليس فيه سقط من عين الله
“Ikhlas adalah melupakan acuh dari perhatian orang dengan selalu memandang sang pencipta, siapa saja yang berhias diri untuk masnusia yang bukan semestinya mata dia tidak dipandang oleh Allah.”
ومن كلام الفضيل ترك العمل من أجل الناس : رياء والعمل من أجل الناس : شرك والإخلاص : أن يعافيك الله منهما
“Al-Fudail bin ‘Iyadh berkata: meninggalkan sebuah amalan karena manusia adalah riya, dan melakukan amalan karena manusia adalah sirik.”
الإخلاص : تصفية العمل من كل شوب, أي لا يمازج عمله ما يشوبه من شوائب إرادات النفس : إما طلب التزين في قلوب الخلق وإما طلب مدحهم والهرب من ذمهم أو طلب تعظيمهم أو طلب أموالهم أو خدمتهم ومحبتهم وقضائهم حوائجه أو طلب محبتهم له أو غير ذلك من العلل والشوائب التي عقد متفرقاتها : هو إرادة ما سوى الله بعمله كائنا ما كان
“Ikhlas adalah memurnikan amalan dari seluruh kontaminasi, maksudnya adalah jangan sampai amalan itu tercampur dengan keinginan jiwa seperti; ingin agar nampak bagus dihati-hati manusia, atau pujian dan terhindar dari celaan, atau ingin pengagungan mereka, atau ingin harta mereka, pengabdian serta kecintaan mereka hingga kebutuhannya terpenuhi, atau ingin manusia suka atau mencintainya dan lainnya yang bisa mengkontaminasi keikhlisan yaitu menginginkan apapun selain Allah dari amalan yang dia lakukan”.[11]
Allahu ‘alam
Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya
____________________________
[1] Ismail bin Hammad al-Juhariy w. 392 H, ash-Shihâh, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2009) hal. 1181.
Lihat juga: Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w. 770 H, al-Misbâh al-Munîr, (Kairo: Dar al-Hadits, Cet. 2008) hal. 395.
[2] Ahmad bin Faris bin Zakariya w. 395 H, Maqâyîsu al-Lughah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008) hal. 876.
Lihat: Muhammad bin Ya’qub al-Fairuz abadi w. 817 H, al-Qamûs al-Muhîth, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008) hal. 1666.
[3] Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawiy w. 676 H, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (Riyadh: Dar al-Alam al-Kutub, cet. 2, 2003 M) hal. 169, Jilid 1.
[4] Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab al-Bagdadiy w. 795 H, Jâmi’ al-Ulûm wa al-Hikam, (KSA: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 9, 1431 H) hal. 24.
[5] Imam Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad Jalaluddin as-Suyuthiy w. 911 H, al-Asybâh wa an-Nadzhâir, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2013) hal. 97.
[6] ibid
[7] Lihat: Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 24.
[8] Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, hal. 266.
[9] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w. 770 H, al-Mishbâh al-Munîr, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 114.
[10] Ibnu Qayyim w. 751 H, Madâriju as-Sâlikîn, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2005 M) hal. 76, Juz 2.
[11] Dinukil dari madariju as-salikin, hal. 76, Juz 2.