Cahaya Sunnah di Terminal Salatiga (Dakwah Salaf di Salatiga Berawal di Terminal)

elhijaz
elhijaz 9 Min Read

CAHAYA SUNNAH DITERMINAL SALATIGA

Ma’had Al Irsyad Tengaran merupakan salah satu rujukan pondok pesantren ahlusunnah di Indonesia yang bermanhajkan salaf. Eksistensi pesantren ini terlihat dari banyaknya santri santriwati dan para alumninya yang berasal dari berbagai daerah baik dalam negeri bahkan dari negara-negara tetangga.

Keberadaan pesantren ini berdampak positif bagi masyarakat mulai bidang agama hingga perekonomian, dimana kita dapati saat ini beberapa penginapan, aneka kuliner, laundry dan unit usaha lain yang berkembang sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut yang sedikit banyaknya tentu membantu pendapatan perekonomian warga sekitar.

Tidak sekedar itu saja, tercatat dalam dinas perhubungan khususnya darat merasakan dampak kenaikan arus penumpang terutama saat penjemputan dan pengantaran santri di awal ataupun akhir tahun ajaran.

Terminal Tingkir Salatiga menjadi saksi bisu perjalanan para musafir penuntut ilmu di Ma’had Al Irsyad ini.

Namun tahukah kita bahwasanya Terminal ini adalah basic awal terpancarnya dakwah sunnah di Salatiga?

Subhanallah…

Kisah ini berawal saat kami (beberapa wali santri) hendak memesan tiket disalah satu agen bus terminal Salatiga. Dan memang sudah biasa bagi kami yang mengantar anak ke ma’had Al Irsyad melakukan pemesanan tiket dipagi hari setelah putra-putri kami telah masuk kembali kedalam area pondok.

Namun lain dari sebelumnya, saat itu tiket bus yang biasa saya pesan sudah habis terjual, dengan tanpa pikir panjang sayapun menjelelajahi beberapa agen bus yang ada diterminal tersebut. Datanglah seorang lelaki separuh baya sedikit berbadan dan berjenggot serta celana yang diatas mata kaki.

Rupanya dia datang untuk menawarkan jasa agen tiket distandnya.

“Mau kemana mas?” Sapanya.

Saya menjawab: “ke Jakarta Pak”, (dengan harapan masih ada satu kursi untuk bisa mengantar saya kembali ke Jakarta).

Lagi-lagi tiketpun sudah habis terjual, namun saya tidak putus asa meminta bantuannya untuk mendapatkan satu tiket apapun merk busnya.

Alhamdulillah Allah mengabulkan doa saya, seketika itu “Pak Tomo” namanya mengabarkan ada bus yang masih kosong. Sayapun langsung meng-iyakan tawaran tersebut dan melakukan transaksi.

Disela-sela menulis catatan ditiket itu Pak Tomo mengatakan sesuatu yang membuat saya terkejut, dia berkata:

“Dakwah salafi di Salatiga ini berawal diterminal mas…, tepatnya dulu masih diterminal lama diawal tahun 90′ an.”

Rupanya sejak awal bapak ini sudah memperhatikan penampilan saya dan menyimpulkan bahwa saya seorang salafi, sehingga beliau seolah membuka pendekatan dengan tema itu.

Saya tersenyum dan tertarik mendengarnya, siapa tahu informasi ini bisa saya ambil pelajaran. Lalu sayapun mencoba untuk menjadi pendengar yang baik dengan sekali-kali memancing agar pak Tomo bisa lebih banyak memberikan faedah.

Dia melanjutkan perkataannya:

“Iya mas…, dahulu saat kami masih diterminal lama. kami bersama teman-teman yang aktif di mushalla sering mengadakan pengajian pada momen-momen tertentu, seperti isra’ mi’raj, maulid dan semisalnya”.

Saya menjawab:

“Terus bagaimana ceritanya dakwah salaf bisa berkembang disini pak?”

Pak Tomo pun semakin bersemangat untuk menjelaskan pengalaman yang sangat berharga ini:

“diawal keberedaan pesantren Al-Irsyad, kami orang terminal melihat pemandangan yang aneh, yang waktu demi waktu semakin banyak dan sering, yaitu para penumpang yang berpenampilan khas jenggot, celana cingkrang dan wanitanya yang bercadar”.

“Singkatnya kami mengetahui bahwa komunitas mereka berpusat dipesantren Al Irsyad di desa Butuh. Bermacam-macam asumsi yang hinggap dibenak kami terhadap komunitas ini, kami sempat mengira bahwa mereka adalah komunitas syiah”.

“Hingga pada akhirnya kamipun mengutus seseorang untuk mengajar disana sekaligus memata-matai dan mengklarifikasi aliran apa sebenarnya mereka”.

“Seketika kami mengetahui bahwasanya pesantren tersebut tidak berafiliasi kepada sekte syiah, maka kami mencoba untuk mengetahui ajarannya atau bagaimana kalau diantara ustadz mereka berceramah”.

“Kami mencoba untuk mengundang salah satu ustadz dari Al Irsyad untuk mengisi pengajian seperti isra’ dan mi’raj”.

“Namun alangkah terkejutnya saat kami mendengar jawaban yang sangat simple sekali dari salah satu ustadz tadi, dia berkata: Maaf kami bukan mubalig yang mumpuni dalam bidang itu”.

Saya tersenyum dan mulai mempercayai perkataan pak Tomo ini, dan saya mulai merasa ini bukan sekedar basa-basi beliau sebagai salah satu agen tiket.

Beliau terus melanjutkan kisah dengan semangat:

“Iya mas, kami heran saat itu. masak iya sih ustadz-ustadz dipesantren itu tidak satupun yang mumpuni sebagai mubalig (diacara isra’ mi’raj).”

“Waktu demi waktu berjalan, dan kamipun masih penasaran mengundang mereka untuk menjadi pemateri pengajian.”

“Mulailah satu persatu ustadz dari Al Irsyad mengajar dimajelis kami diterminal, hingga berkembang sampai sekarang.”

“Ya, mulai saat itulah kami merasa hidayah sunnah merebak bercahaya bagaikan matahari yang keluar dari balik awan.”

Pak Tomo mengisahkan kondisi orang terminal saat itu yang tak jauh seperti terminal lain yang identic dengan kebiasannya merokok dan mabuk. Ditambah lagi terminal lama Salatiga berlokasi tidak jauh dari tempat lokalisasi perzinahan.

“Kami dulu para perokok berat, dan pemabuk adalah hal yang sudah biasa diterminal” ujar beliau.

Namun siapa sangka terminal ini menjadi pijakan awal menyebarnya dakwah salaf diSalatiga. Tak sembarang ustadz yang berperan saat itu, mereka adalah tokoh-tokoh senior salafiy yang namanya sudah tak asing bagi kita, sebutlah ustadz Yazid Jawas, ustadz Ja’far Umar Thalib, ustadz Muhammad Wujud dan ustadz Yusuf Baisa.

Ya, mereka dengan ketelatenannya silih berganti merajuk sehelai demi sehelai dakwah diterminal hingga dari komunitas kajian berhasil (dengan izin Allah) membangun masjid Al-Burhan yang sampai saat ini menjadi salah satu majelis kajian salaf.

Dengan kesibukannya Pak Tomo pun menutup pemaparannya:

“Begitulah mas, sejak saat itu meski menghadapi berbagai rintangan dakwah salaf mulai menyebar diberbagai titik dikota Salatiga ini”.

Sayapun baru sadar, pantaslah orang-orang terminal Salatiga sudah tidak kaku dan merasa asing bemuamalah dengan para musafir ikhwan salafiyun. Karena dakwah salaf bernilai sejarah bagi mereka dan salafiyun merupakan bagian dari kehidupan mereka.

Kenapa tidak, bahkan diantara anak cucu mereka ada yang pesantren di Al Irsyad Salatiga, Bin Baz Yogjakarta dan Lu’lu wal Marjan diMagelang.

“Baik Pak Tomo, terima kasih tiketnya dan tak lebih penting kisahnya sungguh memotivasi saya untuk teguh dalam berdakwah”, ucap saya.

Kemudian saya menuju masjid terminal yang bernama Masjid Al-Makmur untuk istirahat dan melakukan segala persiapan untuk safar yang lumayan menguras tenaga ini.

Bagi siapa saja yang pernah singgah dimasjid terminal ini pastilah kenal dengan imam sekaligus pengurus dan pengelola masjid dan WC umumnya. Beliau Nampak bersahaja dengan penampilan salafinya ditambah umur yang membuatnya tenang dan berwibawa.

Masih penasaran dengan cerita yang dikisahkan pak Tomo tadi, saya pun memulai pembicaraan dengan imam masjid tersebut.

“Dimasjid ini ada kajian rutin ya pak?”

Saya mulai membuka pembicaraan.

“Iya, biasanya setiap hari selasa”, jawab beliau.

Pengisinya dari mana pak?

Pertanyaan yang sengaja saya lontarkan untuk memancing pak imam sebagai penegasan kebanaran cerita pak Tomo tadi.

Beliau menjawab:

“Sebagian dari Al-Irsyad, tapi sekarang sudah berganti ustadz genarasi mudanya”.

Singkat kata bapak tersebut bercerita panjang lebar tentang dakwah salaf di terminal Salatiga yang tak jauh berbeda dengan apa yang dikisahkan oleh pak Tomo tadi.

“Alhamdulillah sampai sekarang dakwah salaf sudah berkembang dikota Salatiga”, ujar beliau.

Hingga beliau menyebut beberapa jadwal kajian dan beberapa nama dai yang masih eksis, dan diantara salah satu nama da’I tersebut kebetulan teman saya saat studi diLIPIA Jakarta, ustadz Arif Ardiansyah yang memang saat ini sedang mengajar di pesantren Al Irsyad.

Tak selang beberapa waktu, hujan lebat memutus percakapan kami, dan beliaupun mempersilahkan saya untuk beristirahat dimasjid hingga jadwal pemberangkatan bus tiba.

Sungguh mulia dakwah ini yang tak pilih kasih masuk menembus celah tak kenal tingkat sosial dan kalangan dengan hikmah yang tinggi.

Dan betapa mulianya para dai yang dengan tegar, sabar demi dakwah yang hak ini tersebar.

Semoga Allah selalu memberikan keistiqamahan kepada mereka dan kita semua untuk tetap berjalan diatas manhaj Ahlusunnah sesuai pemahaman salafushalih.

Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya

______________________________

Sumber: Terminal Tingkir Salatiga, Senin 08 Januari 2018.

Share This Article