Hukum Air Yang Terkena Najis (Syarah Kitab Bulughulmaram)

elhijaz
elhijaz 5 Min Read

KESUCIAN AIR

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. أَخْرَجَهُ اَلثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ.

Dari Abu Said al-Khudriy –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: [sesungguhnya air itu suci lagi mensucikan, tidak ada yang membuatnya najis]. Dikeluarkan oleh tiga imam dan dishahihkan oleh Ahmad.

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ. أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ.

Dari Abu Umamah al-Bahiliy –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: [sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dan menajiskan air kecuali apa saja yang bisa mendominasi bau, rasa dan warna air tersebut]. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan didhaifkan oleh Abu Hatim.

وَلِلْبَيْهَقِيِّ: اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ, أَوْ طَعْمُهُ, أَوْ لَوْنُهُ; بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ.

Dan didalam riwayat al-Baihaqiy: [air itu suci, kecuali jika baunya, rasanya atau warnanya berubah akibat najis yang menimpanya].

وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا كَانَ اَلْمَاءَ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِل الخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ:لَمْ يَنْجُسْ. أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ.

Dari Abdullah bin Umar –Radhiyallahu ‘anhuma- dia berkata: Rasulullah –Shallallahu ‘alai wa sallam- bersabda: [jika air berukuran dua qullah, maka tidak akan terkontaminasi oleh najis] dalam lafadz lain: [tidak najis]. Dikeluarkan oleh empat imam dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

SYARAH

  • Derajat hadits no. 2 Dishahihkan oleh Imam Ahmad.
  • Derajat hadits no. 3 bagian awal haditsnya shahih, sedang ujung haditsnya إلا ما غلب … dha’if, didha’ifkan oleh Abu Hâtim dan para ahli hadits sepakat akan lemahnya, namun ulama berijma’ tentang kandungannya.[1]
  • Sebab keluarnya hadits ini (سبب الورود ), telah ditanyakan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alai wa sallam- “Wahai Rasulullah…, apakah kami boleh berwudhu’ disumur budhâ’ah?” –sebuah sumur yang didalamnya didapati sisa pembalut dan bangkai- lalu Rasulullah menjawabnya dengan hadits ini.

Perawi hadits:

  • Abu Sa’id al-Khudriy adalah seorang shahabat yang bernama Saad bin Malik bin Sinan al-Khazrajiy al-Anshariy, dan al-Khudriy penisbatan kepada kampung asalnya Khudrah dari kalangan al-Anshar.
  • Abu Umamah al-Bâhiliy adalah seorang shahabat yang bernama Shuday bin ‘Ajlân, dan al-Bâkhiliy penisbatan kepada kaumnya Bâhilah. Beliau tinggal diMesir kemudian pindah ke Hims (Suria) hingga wafat pada tahun 86 H. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah shahabat yang terakhir wafat diwilayah Syam. [2]
  • Abdullah bin Umar adalah putra Umar bin al-Khatthâb –radhiyallahu ‘anhuma- beliau masuk Islam sejak kecil, wafat diMakkah tahun 73 H.

Faidah:

  • Hukum asal air adalah suci sesuai kemutlakan dua hadits ini.
  • Ijma’ ulama, akan najis menimpa air dan merubah baunya, rasanya dan warnanya.[3]
  • Perbedaan pendapat ulama, jika najis menimpa air namun tidak merubah baunya, rasanya dan warnanya;

Pendapat pertama : air tetap suci baik air itu banyak ataupun sedikit.[4]

Pendapat kedua : jika airnya sedikit maka hukumnya najis, jika airnya banyak maka hukumnya tetap suci.[5]

Al-Amîr ash-Shan’âniy berkata bahwa pendapat yang lebih dekat adalah pendapat pertama.[6]

air dikatakan banyak menurut madzhab hanafiyah adalah air yang jika salah satu tepinya ditepuk dan sisi seberangnya tidak bergerak. Dan menurut madzhab syafiiyah air dikatakan banyak jika mencapai dua qullah.

*****

Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya

_____________________________

[1] Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih al-Bassâm, Taudhihul-ahkâm min bulûghil-marâm (Riyadh: Dârul-maimân, Cet. Ke 2 thn 2009 M) h. 129-130, Juz I.

[2] Muhammad bin Ismail al-‘Amir ash-Shan’aniy w. 1182 H, Subulus-salâm al-Mûsilah ila Bulûghil-marâm, (Dammam KSA: Dâr ibnu al-Jauziy, cet. 1429) h. 99-105, Juz I, Jilid I.

[3] Taudhilul-ahkâm, h. 131, Jilid I.

[4] Malik, dhâhiriyah, al-Qâsim dll.

[5] Hanafiyah dan Syafi’iyah.

[6] Subulussalâm, h. 104, Juz I.

Share This Article