Mengungkit-ungkit dan menyakiti hati akan menghapus pahala kebaikanmu serta akan mendatangkan adzab dan kemurkaan Allah
Ketahuilah –semoga Allah merahmati kita-, sesungguhnya diantara penghapus sedekah ataupun amal kebaikan adalah dengan mengungkit-ungkit (المن) dan menyakiti (الأذى) hati seseorang yang bersangkutan.
Allah –Ta’ala- berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُواُ مَنًّا وَلاَ أَذًى لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ* قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ* يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (البقرة:262-263-264)
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut (mengungkit-ungkit) pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
(Q.S Al-Baqarah[2]: 262-263-264)
Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syanqîtîy –rahimahullah- berkata:
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa siapa saja yang berinfak disertai al-Mann dan al-Adza maka dia tidak akan mendapatkan pahala yang dijanjikan dalam ayat di atas.[1]
Lebih dari itu ayat ini menjelaskan tentang dua hal yang sering tidak kita rasakan dapat menghapus pahala kebaikan kita, bahkan dua hal tersebut dapat mengundang adzab dan kemurkaan Allah.
Dua perkara ini adalah Al-Mann (mengungkit pemberian) dan Al-Adza (menyakiti hati sipenerima).
Al-Mann (mengungkit pemberian) yang dimaksud adalah memperhitungkan sesuatu yang telah dia berikan
المَنُّ هَاهُنَا أَن تَمُنَّ بِمَا أَعطيت، وَتَعْتَدَّ بِهِ كأَنك إِنما تَقْصِدُ بِهِ الِاعْتِدَادَ
Al-Adza (menyakiti sipenerima) yang dimaksud adalah mencela sipenerima.
والأَذى: أَن تُوَبِّخَ المعطَى.[2]
Sufyan ats-Tsaurîy –rahimahullah- berkata:
Arti dari مَنًّا وَلاَ أَذًى adalah perkataan seseorang: “sungguh aku telah memberimu ini dan itu, namun kamu tiada terima kasihnya..”
Imam al-Qurtubîy –rahimahullah- berkata:
Al-Mann adalah menyebut-nyebut atau menghitung-hitung kebaikan. Contohnya dengan dia berkata: “Sungguh aku telah berbuat baik kepadamu”, atau menceritakan pemberiannya kepada orang hingga sampai ke telinga sipenerima, dan hal itu menyakitkan hati sipenerima.
Al-Adza adalah dengan mencela atau mengeluhkan tentang sipenerima[3] (seperti berkata: “bagaimana sih kamu ini, bukankan aku sudah memberimu kebaikan begini dan begitu? Dasar gak bisa dikasih untung…” atau semisalnya hingga membuat hati sipenerima terluka)
Imam Al-Qurtubîy –rahimahullah- berkata:
ولا يَكُونُ المنّ غالبًا إلا مِن البُخل، والكِبْر، والعُجب ونِسْيَان مِنَّة الله تعالى فِيْمَا أنعم عليه. فَالْبَخِيْلُ يُعَظِّمُ في نفسِهِ العَطِيَّةَ، وإن كانت حَقِيرةً في نفسِها. والعجب يحمِلُه على النَّظَر لِنفسِهِ بعين العظمة، وَأَنَّهُ مُنْعِمٌ بمَالِه عَلى الْمُعْطَى، والكِبْرُ يحمله على أن يحقر المُعْطَى له، وإِن كَانَ في نَفسِهِ فاضلًا. وَمُوجبُ ذلك كُلِّه الجَهْلُ، ونِسيَانُ منةِ الله تعالى فِيْمَا أَنْعَم عَلَيْهِ.[4]
“Perilaku mengungkit-ungkit ini kebanyakan lahir dari orang yang kikir, sombong, ujub serta lupa bahwa Allah-lah yang telah memberi karunia kepadanya.
Hal itu karena orang yang kikir selalu merasa apa yang telah dia berikan adalah sesuatu yang besar meskipun pada hakikatnya hanyalah hal yang sepele.
Orang yang ujub merasa dirinya mulia, karena merasa dia telah memberikan hartanya kepada si penerima.
Orang yang sombong memandang hina sipenerima, meskipun pada diri sipenerima memiliki kelebihan.
Sebab dari semua ini adalah kebodohan dan lupa akan karunia Allah yang telah diberikan kepadanya.”
Al-Mann dan Al-Adza merupakan dosa besar
Mengungkit-ngungkit pemberian atau kebaikan tergolong dalam dosa besar[5] yang mana berada dalam ancaman Allah, sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
ثَلَاثةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ الله يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَا يَنْظُر إِلَيْهم وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ قَالَ فَقَرَأها رَسولُ الله صلى الله عَليهِ وَ سَلَّمَ ثَلَاثَ مرار قال أبو ذر خَابُوا وَخَسَرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولُ الله؟ قَالَ الْمُسْبِل وَالْمَنَّان والمنفق سِلْعَته بِالْحَلِف الْكَاذِبِ.
“Ada tiga golongan yang mana Allah tidak mengajak mereka berbicara di hari kiamat, dan tidak melihat mereka, dan tidak mensucikan mereka serta bagi mereka adzab yang pedih –beliau membacanya tiga kali – Abu Dzar berkata: sungguh kecewa dan merugi mereka, siapa mereka itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: seorang lelaki yang musbil (kainnya menjulur sampai di bawah mata kaki), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (H.R Muslim, No. 171)
Imam an-Nawawiy –rahimahullah- berkata:
“Allah tidak berbicara kepada mereka, seperti berbicaranya orang-orang baik dengan penuh keridhaan. Namun berbicara kepada mereka seperti berbicaranya orang yang murka dan marah. Allah tidak melihat mereka bahkan berpaling dari mereka. Allah tidak mensucikan mereka dari kotoran dosa. Bagi mereka adzab yang pedih yang sampai kedalam hati mereka.”[6]
Oleh karena itu hendaknya kita:
- Selalu bertaubat kepada Allah dan berupaya untuk mengikhlaskan segala amalan kepada Allah, serta selalu menganggap bahwa apa yang telah kita lakukan belumlah seberapa dibanding dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
- Dan hendaklah kita selalu menjaga lisan dan perbuatan kita yang tak disadari hal itu menyakiti hati saudara kita.
Allahu Ta’ala A’lam
Ditulis oleh:
Ust. Imron Rosyid Astawijaya
Pengasuh EL-HIJAZ Islamic and Arabic School
معهد الحجاز لتعليم العلوم الإسلامية والعربية
Ciracas, JAKARTA TIMUR
Referensi:
[1] Muhammad al-Amîn bin Muhammad al-Mukhtâr asy-Syanqîtîy, Adhwâ al-Bayân fi îdhâhi Al-Qur’an bi Al-Qur’an (Kairo: Dâr ibnu al-Jauzîy, cet. 2104 M) h. 182, Jilid 1.
[2] Muhammad bin Ahmad bin al-Azharîy al-Harawîy (w.370 H), Tahdzîb al-Lughah, (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts, cet. 2001) h. 338, Jilid 15.
[3] Muhammad bin Ahmad al-Anshârîy al-Qurtubîy, Al-Jâmi’ li ahkâmi Al-Qur’an, (Kairo: Dâr al-Hadits, cet. 2010 M) h. 264, Jilid 2.
[4] Ibnu al-Mulqîn Umar bin Ali bin Ahmad asy-Syafi’îy, at-Taudhîh lisyarhi al-Jâmi’ ash-Shahîh (Siria: Dâr an-Nawâdir, cet. 1429 H/2008M) h. 327, jilid 10.
Lihat juga: al-Imam al-Hâfidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalânîy, Fathu al-Bârî bi syarhi shahîh al-Bukhârîy, (Kairo: Dâr al-Hadîts, cet. 2004) h. 339, Jilid 3.
[5] Muhammad bin Ahmad al-Anshârîy al-Qurtubîy, Al-Jâmi’ li ahkâmi Al-Qur’an, (Kairo: Dâr al-Hadits, cet. 2010 M) h. 264, Jilid 2.
[6] Yahya bin Syaraf an-Nawawîy, Syarah shahîh muslim ,(Kairo: Dâr al-Hadits, cet. 2001M) h. 393, Jilid 1.