Kiat Meraih Keikhlasan

0
1417
kiat menjaga ikhlas elhijaz

KIAT-KIAT MERAIH KEIKHLASAN

Ketahuilah –semoga Allah merahmati kita- sesungguhnya keikhlasaan adalah rahasia Allah Ta’ala, Allah titipkan ikhlas itu pada hati seorang hamba yang dicintaiNya.[1] Tersisa bagi kita upaya meraih taufiq berupa keteguhan dalam niat dan keikhlasan yang sangat berat sekali untuk menjaganya.

Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauriy –rahimahullah- bahwasanya beliau berkata:

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتغلب علي

“Tidak ada sesuatu yang paling berat aku obati dibanding niatku, karena sesungguhnya dia selalu mengalahkanku”.[2]

karena itulah maka untuk menggapai keikhlasan niat membutuhkan kerja keras dan kesungguhan yang harus kita lakukan, seperti;

  1. Doa

Kita ketahui bahwa segala macam bentuk kenikmatan seperti hidayah dan lainnya adalah milik Allah, dan Allah anugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka hendaklah seorang hamba memohon dan berdoa kepadanya akan segala kebaikan terkhusus untuk selalu dijaga ketetapan hati, kebenaran niat dan keikhlasan kita.

Abdullah bin Amr bin al-‘Ash berkata bahwa dia mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alai wa sallam- bersabda:

إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

“Sesungguhnya seluruh hati keturunan Adam bagaikan satu hati yang berada diantara dua jari dari jemari ar-Rahman, Allah palingkan hati itu kapan saja Allah berkehendak, kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Ya Allah yang maha memalingkan hati…, palingkanlah hati-hati kami terhadap ketaatan kepadaMu” (H.R Muslim no. 68744)

Ummu Salamah pernah ditanya tentang doa apa yang paling banyak dipanjatkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau berkata:

كَانَ أَكْثَرُ دُعَائِهِ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكْثَرَ دُعَاءَكَ يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ قَالَ يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِيٌّ إِلَّا وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

“doa yang paling banyak beliau ucapkan adalah Wahai yang maha membolak-balikkan hati tetapkanlah (teguhkanlah) hatiku diatas agamamu, maka aku berkata: wahai Rasulullah alangkah banyaknya kau ucap doa Wahai yang maha membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku diatas agamamu…, beliau bersabda: wahai Ummu Salamah bahwasanya tidaklah seorangpun kecuali hatinya berada diantara dua jari dari jemari Allah, siapa saja yang Dia kehendaki Dia Teguhkan dan siapa saja yang Dia kehendaki Dia palingkan”. (H.R Tirmidzi no. 3522)

Adapun doa yang berkait khusus dengan keikhlasan yang sering dipanjatkan oleh para salafushalih:

اللهم اجعل عملي كله صالحا واجعل لوجهك خالصا, ولا تجعل لأحد فيه شيئا

“Ya Allah…Jadikanlah seluruh amalanku amalan yang shalih, dan jadikanlah ikhlas karena mengharap wajahMu. Dan Janganlah kau jadikan satupun amalan itu karena seseorang…”

  1. Menjunjung Tauhid dan Sunnah.

Karena ini adalah pokok agama yang menjadi seluruh sandaran amalan kita. Serta inilah yang menjadikan sebuah amalan menjadi amalan yang terbaik, Fudhail bin ‘Iyadh –rahimahullah- berkait tentang ayat Allah:

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا قال : أخلصه وأصوبه قال : إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا صوابا. والخالص : إذا كان لله والصواب : إذا كان على السنة

“Untuk menguji kalian, siapa diantara kalian yang paling baik amalannya. (Q.S Hud: 7 dan al-Mulk: 2, beliau berkata: yang paling ikhlas dan yang paling benar, beliau berkata: sesungguhnya amalan jika dia ikhlas namun tidak benar maka tidak diterima, dan jika amalan itu benar namun tidak ikhlas tidak akan diterima hingga amalan itu ikhlas dan benar. Dan dikatakan Ikhlas jika amalan itu dilakukan karena Allah, dan dikatakan Benar jika amalan itu dilakukan sesuai dengan Sunnah.” [3]

3. Ilmu

Yaitu mempelajari sebuah amalan yang hendak dilakukan sehingga dengannya kita akan memahami dengan baik bagaimana adab niat serta tata cara amalan tersebut.

Contoh: dalam belajar atau menuntut ilmu, maka kita harus memahami adabnya diantaranya bagaimana niat kita dalam menuntut ilmu? Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad –rahimahullah-:

العلم لا يَعْدله شيء لمن صحت نيته . قالوا : وكيف تصح النية يا أبا عبد الله ؟ قال: ينوي رفع الجهل عن نفسه وعن غيره

“Tidak ada yang mampu menandingi ilmu jika niatnya benar, dikatakan kepadanya: wahai abu abdillah… bagaimana niat yang benar itu? Beliau berkata: niatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu dan orang lain.”[4]

  1. Menyembunyikan amalan.

Hal ini lebih selamat dari sebuah riya, kecuali amalan yang memang disyariatkan untuk syiar, seperti shalat lima waktu bagi seorang laki-laki, menikah dan lainnya yang memiliki maslahah untuk dinampakkan.

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

Tujuh golongan yang berada dalam naungan Allah dihari kiamat yang mana tidak ada naungan kecuali naunganNya:

  • Pemimpin yang adil.
  • Pemuda yang tumbuh berkembang dengan ibadah kepada Allah.
  • Seseorang yang hatinya terpaut dengan masjid.
  • Dua orang yang saling mencintai karena Allah berkumpul dan berpisahnya karenaNya.
  • Seseorang yang diseru oleh wanita cantik dan bermartabat, lalu dia berkata: sungguh aku takut kepada Allah.
  • Seseorang yang bersedekah dan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya.
  • Seseorang yang berdzikir mengingat Allah kala sendiri lalu bercucuran air matanya (Al-Bukhariy no. 660, Muslim no. 1027-84)

5. Muraqabah

Menumbuhkan kesiagaan bahwa kita tahu sesungguhnya Allah selalu mengawasi dan mengetahui apa yang kita lakukan[5] baik yang dhahir ataupun yang bathin, dan malaikatnya selalu mengiringi kita. Hal ini akan menumbuhkan ihsan yang Rasulullah sabdakan:

الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك

“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya, jika engkau tak melihatnya sesungguhnya Allah melihatmu.” (H.R. Muslim)

  1. Melihat amalan para shalihin yang jauh diatas kita.

Sebagai pelajaran dan perbandingan bahwa kita tiada apa-apanya dibanding mereka.

  1. Memandang hina amalan kita dan takut kalau-kalau amalan kita tidak diterima

Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam tafsirnya mengatakan:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ أي: يعطون العطاء, وهم خائفون ألا يتقبل منهم

“{Orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan. Al-Mukminun:60}, beliau berkata: mereka memberi sesuatu dan mereka takut kalau –amalannya itu- tidak diterima.”[6]

Dan lainnya dari pada hal-hal yang bisa menjaga niat kita menjadi ikhlas, Semoga Allah selalu menjadikan seluruh amalan kita Ikhlas karenaNya …Amin

Allahu Ta’ala A’lam

Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya

____________________________

[1] Ibnu Qayyim w. 751 H, Madariju as-Salikin, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2005 M) hal.76, Juz 2.

[2] Ibnu Rajab w. 795 H, Jami’ al’Ulum wa al-Hikam, (KSA: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 7, 1431 H) hal. 29. Lihat juga: Mustadrak dalam kitab al-Ikhlas wa an-Niyyah -Ibnu Abi Dunya w.281 H-, (Dar al-Basyair, cet. 1) hal. 73.

[3] Ibnu Abi ad-Dunya w. 281 H, al-Ikhlas wa an-Niyah, (Dar al-Basyair, cet. 1) hal. 50.

[4] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah Hilyah Thalib al-Ilmi, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2005 M) hal. 13.

[5] Ibnu ‘Utsaimin, Syarah Riyadhu as-Shalihin, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2006 M) hal. 173, Jilid 1.

[6] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhzim, (Riyadh: Dar ath-Thayyibah, cet. 2009 M) hal.480, Juz 5.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here