Makalah Muhkam dan Mutasyabih Dalam Al-Qur’an

elhijaz
elhijaz 25 Min Read

PENDAHULUAN

ِA. Latar Belakang

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuk, kekuatan, kecerdasan yang berbeda-beda. Sehingga ada beberapa amalan yang tidak mampu dilakukan oleh seluruh orang, dan ada pula amalan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat tertentu saja.

Begitu juga halnya dalam kemampuan berfikirpun ada hal-hal yang dipahami oleh semua orang dan ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. Serta ada juga yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh seluruh insan.[1]

Terkait itu pula Allah jadikan didalam al-Qur’an hal-hal yang bisa dipahami secara menyeluruh, juga hal-hal yang hanya dipahami oleh orang tertentu dan hal-hal yang hanya Allah sajalah yang memahami maknanya. Hal yang semacam ini disebut oleh para ulama sebagai pembahasan al-Muhkam dan al-Mutasyaabih yang in syaa Allah akan menjadi pembahasan makalah kita dalam kesempatan ini.

Menimbang pentingnya pembahasan ini perlu rasanya penulis sedikit bersumbangsih meski banyak kendala dalam penulisan makalah ini yang mendasar terutama banyaknya istilah-istilah syar’i yang sulit untuk dituangkan maknanya kedalam bahasa Indonesia secara sempurna. Namun tiada pilihan lain kecuali tetap kita upayakan untuk menyajikannya sebatas kemampuan dalam sebuah pengabdian, mohon maaf atas segala kekeliruan dan semoga bisa bermanfaat serta dicatat oleh Allah sebagai sebuah amal shalih amin Ya Rabbal ‘Alamin.

B. Poin Pembahasan

  1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih
  2. Macam-macam al-Mutasyabih
  3. Al-Mutasyabihat dalam ayat-ayat tentang sifat Allah
  4. Perdebatan ulama seputar al-mutasyabihat
  5. Hikmah mengetahui al-Muhkam dan al-Mutasyabih

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih

Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Bahasa.

  1. Pengertian al-Muhkam Secara bahasa.

Al-Muhkam secara bahasa berasal dari kata dasar حَكَمَ yang mana Ibnu Faris –rahimahullah- mengatakan:

اَلْحَاءُ وَالْكَافُ وَالْمِيْمُ أَصْلٌ وَاحِدٌ, وَهُوَ اَلْمَنْعُ. وَأَوَّلُ ذَلِكَ اَلْحُكْمُ وَهُوَ اَلْمَنْعُ مِنَ الظُّلْمِ

“Huruf al-Ha’, al-Kaf dan al-Mim adalah sebuah asal kata yang bermakna larangan. Kata pertama yang berakar dari tiga huruf tersebut adalah Hukum yang berarti melarang dari sebuah kedzhaliman.”[2]

Dikatakan juga: “حَكَمْتُهُ عَلَيْهِ بِكَذَا إِذَا مَنَعْتُهُ مِنْ خِلَافِهِ”, “aku menghukuminya dengan begini, jika aku melarangnya untuk tidak menyelisihi sesuatu tersebut”.[3]

Maka makna hukum pada kalimat diatas adalah melarang, yaitu makna secara bahasa. Dari sini pulalah tali yang mengikat kepala dan leher binatang dinamakan dengan حَكَمَةٌ[4] atau tali kekang, karena berfungsi untuk melarangnya bergerak agar terkendali.

Kemudian maknanya berubah dengan bertambahnya huruf alif jika dikatakan أَحْكَمَ – إِحْكَامًا yang bermakna أَتْقَنَ – إِتْقَانًا artinya adalah menguatkan atau mengokohkan, seperti jika dikatakan: أَحْكَمْتُ الشَّيْئَ أَي أَتْقَنْتُهُ فَمَنَعْتُهُ عَنْ الْفَسَادِ artinya aku menguatkan sesuatu dan melarangnya dari kerusakan.[5] Abu Hilal al-‘Askariy –rahimahullah- berkata:

أَنَّ إِتْقَانَ الشَّيْئِ إِصْلَاحُهُ, وَالْإِحْكَامُ إِيْجَادُ الْفِعْلِ “itqhannya sesuatu maksudnya adalah memperbaikinya, dan ihkam adalah menyempurnakan perbuatan dan menguasinya dengan baik”.[6]

Maka al-Muhkam اَلْمُحْكَمُ secara bahasa adalah bentuk isim maf’ul dari أَحْكَمَ yang bermakna sesuatu yang dikokohkan atau dikuatkan atau disempurnakan.

  1. Pengertian al-Mutasyabih secara bahasa

Al-Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata dasar شبه yang mana dikatakan oleh Ibnu Faris –rahimahullah- : اَلشِّيْنُ وَالْبَاءُ وَالْهَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ يَدُلُّ عَلَى تَشَابُهِ الشَّيْئِ “bahwa huruf asy-Syin, al-Ba’ dan al-Ha’ satu dasar kata yang menunjukkan kemiripan sesuatu”[7].

Ar-Raghib al-Asfahaniy –rahimahullah- menjelaskan bahwasanya al-mutasyabih sebuah kata turunan dari اَلشَّبْهُ والشَّبَهُ والشَّبِيْهُ [8] yang maknanya adalah sebuah kemiripan, beliau berkata:

وَالشُّبْهَةُ هُوَ أَنْ لَا يَتَمَيَّزُ أَحَدُ الشَّيْئَيْنِ مِنَ الْآخَرِ لِمَا بَيْنَهُمَا مِنَ التَّشَابُهِ عَيْنًا كَانَ أَوْ مَعْنًى ، قَالَ الله تعالى: { وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهَا } أَيْ يُشْبِهُ بَعْضُهُ بَعْضًا لَوْنًا لَا طَعْمُا وَحَقِيْقَةً

Asy-Syubhah adalah tidak bisa membedakan antara satu dengan yang lain disebabkan adanya kemiripan antara keduanya secara kasat mata ataupun makna, Allah Ta’ala berfirman: “mereka diberi buah-buahan yang serupa…”, maksudnya adalah sebagiannya menyerupai warna sebagian yang lain, bukan rasa atau hakikatnya.[9]

Maka al-Mutasyabih secara bahasa adalah “sesuatu yang memiliki kemiripan satu dengan yang lain”.

  1. Pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih Secara Istilah.

Para ulama berbeda pendapat atau bermacam-macam dalam mengungkapkan pengertian al-Muhkam ataupun al-Mutasyabih.

Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

وَأَمَّا فِيْ الاِصْطِلَاحِ فَهُوَ مَا أَحْكَمَتْهُ بِالأَمْرِ وَالنَّهْيِ وبَيَانِ الْحَلَالِ والحَرَامِ

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

وأما المَتَشَابِهُ فأَصْلُهُ أن يَشْتَبِهَ اللَفْظُ في الظَاهِرِ مع اخْتِلَافِ الْمَعَانِي

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya berbeda.”[10]

Kemudian beliau memaparkan pendapat ulama seputar al-Muhkam dan al-Mutasyabih, kurang lebihnya seperti yang diikuti oleh Imam as-Suyuthiy dalam ungkapannya sebagai berikut; [11]

Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Sesuatu yang diketahui maksudnya baik secara dzhahir atau ta’wil apa saja yang hanya diketahui oleh Allah seperti hari kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf muqatta’ah diawal-awal surat
adalah yang jelas maknanya ayat yang tidak jelas maknanya
sesuatu yang tidak memiliki kemungkinan ta’wil lebih dari satu sesuatu yang berkemungkinan lebih dari satu penta’wilan
Apa saja yang termasuk ma’qulu al-ma’na Apa saja yang termasuk ghairu ma’quli al-ma’na
Apa saja yang berdiri sendiri -tanpa butuh yang lain sebagai penjelas- Apa saja yang tidak berdiri sendiri dan membutuhkan kepada yang lain –sebagai penjelas-
Apa saja yang penta’wilannya sesuai dengan nash turunnya(teksnya). Apa saja yang tidak dapat diketahui kecuali dengan ta’wil
Yang tidak berulang-ulang lafadznya Yang berulang-ulang lafadznya
Al-Faraid, janji dan ancaman Kisah dan permisalan
An-Nasikh, halal dan haram, hudud dan faraid serta apa yang kita wajib mengimaninya dan mengamalkannya Mansukh, aqsam (sumpah) dan apa saja yang kita wajib mengimaninya namun tidak untuk diamalkan.
Halal dan haram Selain halal dan haram

 

Sementara Syaikh Muhammad Abdul’adzim –rahimahullah- mengelompok pendapat-pendapat tersebut dengan menyandarkan kepada ulamanya, sebagaimana yang beliau tuliskan dalam kitabnya sebagai berikut:[12]

Ulama Al-Muhkam Al-Mutasyabih
Tokoh

al-Hanafiyah

Pendalilan yang jelas yang tidak berkemungkinan terkena naskh Sesuatu yang samar yang tidak bisa dimengerti maknanya baik secara akal atau penukilan nash syar’i. Hanya Allah yang mengetahuinya seperti hari kiamat, huruf muqatta’ah diawal-awal surat.
Ahlusunnah[13] Yang diketahui maksud yang diinginkan baik secara dzhahir atau ta’wil Sesuatu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya seperti kiamat, keluarnya dajjal, huruf muqatta’ah diawal surat.
Ulama usulfiqih[14] Sesuatu yang hanya berkemungkinan ta’wil dari satu sisi saja. Yang berkemungkinan lebih dari satu penta’wilan
al-Imam Ahmad Sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelas Yang tidak berdiri sendiri bahkan membutuhkan penjelasan terkadang dengan penjelasan ini dan terkadang dengan penjelasan yang lainnya disebabkan khilaf dalam penta’wilannya
Al-Imam

al-Haramain

Tekstual yang bagus dan tersusun yang berkonsekwensi memberikan makna yang lurus atau benar tanpa penafian Sesuatu yang jika ditinjau dari segi bahasa tidak dapat dimengerti, kecuali didampingi dengan tanda atau pendukung. Seperti satu kata yang memiliki banyak makna
Ath-Thayyibiy[15] Makna yang jelas yang tidak menimbulkan kesamaran Makna yang tidak jelas yang menimbulkan kesamaran

 

B. Macam-macam Mutasyabih

Berkait tentang pengelompokan macam-macam mutasyabih ini ada beberapa pendapat ulama didalamnya, seperti pada kedelapan hijriyah Imam asy-Syatibiy menuliskan bahwasanya al-Mutasyabih itu ada tiga: haqiqiy dan idhafiy sert al-Mutasyabih yang terdapat dalam istinbatnya bukan nash dalilnya.

  1. Al-Mutasyabih al-Haqiqiy adalah bagian dari al-Qur’an yang mana kita tidak dapat memahami maknanya, bahkan seorang mujtahidpun saat menelitinya tidak bisa mendapatkan maknanya yang muhkam.
  2. Al-Mutasyabih al-Idhafiy adalah bagian dari al-Qur’an yang sebenarnya maknanya bisa dimengerti dalam syariat akan tetapi terkadang dirancukan oleh kejahilan atau hawa nafsu sehingga dalam pandangannya menjadi mutasyabih yang sebenarnya lebih condong kepada muhkam.[16] Jenis kedua ini disebut juga dengan istilah al-Mutasyabih an-Nisbiy yang relative dan hanya ulama tertentu saja yang dapat memahami maknanya.
  3. Al-Mutasyabih dalam istinbat hukum bukan pada ayat atau dalilnya akan tetapi pada ‘illahnya. Contoh; ayat tentang haramnya bangkai dan halalnya hewan yang disembelih secara syari sangatlah jelas, namun timbul syubhat saat kedua daging tersebut tercampur apakah halal untuk dikonsumsi atau menjadi haram.[17]

Sementara Imam as-Suyuthiy membagi al-Mutasyabih dari tiga sudut pandang; dari segi lafadz saja, dari segi makna saja dan dari segi lafadz dan makna secara bersamaan:

  1. Dari segi lafadz saja:

a. Terdapat pada satu lafadz saja, seperti al-Abb (اَلْأَبّ).

b. Terdapat pada lafadz yang tersusun lebih dari satu, seperti ليس كمثله شيء karena seandainya diucapkan ليس مثله شيء maka ini lebih jelas untuk dipahami oleh yang mendengarnya.

2. Dari segi makna saja, seperti makna dari sifat-sifat Allah Ta’ala. Karena sifat-sifat ini tidak dapat kita pahami gambaran hakikatnya.

3. Dari segi lafadz dan makan terbagi menjadi lima macam al-Mutasyabih;

a. Dari segi populasinya, seperti pada permasalahan al-umum dan al-khusus.

Contoh: فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ, dalam surat at-Taubah ayat 5.

b. Dari segi tatacaranya, seperti wajib atau sunnah dalam firman Allah Ta’ala surat an-Nisa’ ayat 3:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

c. Dari segi waktu, seperti an-Naskh dan al-Mansukh.

d. Dari segi tempat turunnya ayat tersebut.

e. Dari segi syarat yang menjadi standar sah tidaknya ibadah seperti syarat shalat dan nikah.

Kemudian beliau menyimpulkan bahwa dari penjelasan diatas maka bisa dipahami bahwasanya secara umum al-Mutasyabih terbagi menjadi tiga:

  1. Al-Mutasyabih yang sama sekali tidak bisa kita pahami.
  2. Al-Mutasyabih yang bisa dipahami dengan indikasi-indikasi lainnya.
  3. Al-Mutasyabih yang hanya bisa dipahami oleh ulama tertentu. [18]

C. Al-Mutasyabihat Dalam Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah

Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa diantara yang termasuk mutasyabih adalah ayat tentang sifat-sifat Allah Ta’ala, seperti:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى[19] , وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ[20] ,يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ[21]

Dan lainnya yang mana para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi ayat tentang sifat-sifat menjadi bebera madzhab sebagaimana yang paparkan oleh Imam as-Suyutihiy:

  1. Madzhab jumhur ahli sunnah dari kalangan salaf dan ahli hadits.

Yang berpendapat dengan mengimani sifat-sifat tersebut dengan mengembalikan makna yang dimaksud kepada Allah tanpa mentafsirkan sebagai bentuk tadzih atau mensucikan hakikatnya.

  1. Madzhab khalaf yaitu sebagian kalangan dari ahlusunnah.

Dengan berpendapat membolehkan ta’wil sifat-sifat sesuai dengan kemuliaan Allah Ta’ala. Dahulunya Imam al-Haramain termasuk yang berpendapat seperti ini, namun kemudian beliau rujuk kepada pendapat salaf seraya berkata didalam kitab ar-Risalah an-Nidzamiyah: Yang aku rela dalam beragama kepada Allah dengan penuh keyakinan adalah mengikuti salaf al-ummah, sesungguhnya mereka meniti sebuah jalan yang meninggalkan pertentangan antara makna-makna sifat tersebut.[22]

  1. Madzhab Mutawassith.[23]

Disini Imam as-Suyuthiy menukil perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id yang mana beliau berkata: jika penta’wilan itu dekat pengertiannya dalam bahasa arab maka kami tidak mengingkarinya, jika jauh dari pengertian bahasa arab maka kami tawaqquf darinya dan mengimani maknanya sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah dengan menjaga kesucian maknanya.[24]

D. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang makna al-muhkam dan al-mutasyabih, maka demikian pula mereka berselisih pendapat dalam permasalahan siapakah yang dapat memahami ayat al-mutasyabihah.

Yang menjadi dasar perdebatan mereka adalah letak waqf atau berhentinya tanda baca pada ayat:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (Q.S Ali Imran [3]:7)

Pendapat pertama:

Firman Allah وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ adalah mubtada dan يَقُولُونَ sebagai khabarnya, sehingga huruf و pada وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ bermakna isti’naf yang menandakan sebagai kalimat permulaan dan waqf bacaan terhenti pada وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ yang berkonsekwensi bahwa hanya Allah sajalah yang tahu makna ayat-ayat al-mutasyabihah tersebut.

Pendapat kedua:

Huruf و pada firman Allah وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ bermakna al-athfu sebagai huruf atau kata sambung dan يَقُولُونَ menjadi keterangan hal, sehingga waqf bacaan terhenti pada وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ sehingga berkonsekwensi maknanya bahwa yang memahami al-mutasyaabih adalah Allah dan orang-orang yang diberi kekokohan dalam ilmu.[25]

Imam as-Suyuthiy berkata:

“bahwa yang berpendapat seperti pendapat kedua sangatlah sedikit diantaranya Mujahid yang membawakan riwayat gurunya Ibnu Abbas yang mana beliau berkata dalam ayat:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ“aku adalah salah satu yang mengetahui ta’wilnya”. Pendapat ini berdalil bahwasannya tidaklah layak bagi Allah menyeru hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa dimengerti.

Adapun mayoritas sahabat, tabi’in dan pengikut setelahnya terkhusus ahlusunnah maka mereka berpendapat seperti pendapat pertama yaitu hanya Allahlah yang mengetahui al-Mutasyaabih dan ini riwayat yang paling shahih dari Ibnu Abbas”.[26]

Pendapat jumhur ini diperkuat oleh qiraat Ibnu Abbas:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَيَقُوْلُ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ آمَنَّا بِهِ

“Dan tidaklah ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan berkatalah orang yang kokoh keilmuanya; kami beriman dengannya”[27]

Muhyiddin ad-Darwisy dalam kitabnya I’rab al-Qur’an membawakan perkataan wajibnya waqf pada kalimat إِلَّا اللَّهُ sehingga kalimat وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْم menjadi kalimat permulaan.[28]

Imam ar-Raziy memberikan enam dalil bahwa waqf yang shahih adalah pada kalimat إِلَّا اللَّهُ, diantara argumen beliau adalah:

  1. Ayat ini menunjukkan bahwa mencari-cari ta’wil adalah tercela, Allah berfirman:

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Kalau seandainya ta’wil itu boleh maka Allah takkan mencelannya.

  1. Kalau seandainya kalimat وَالرَّاسِخُونَ mengikut atau athfu kepada lafadz Allah maka kedudukan kalimat يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ menjadi mubtada’ dan ini jauh dari kefasihan atau kebenaran dari segi kaidah bahasa arab.[29]

Dari sinilah lahir kaidah tafsir يَجِبُ العَمَلُ بِالمُحْكَمِ والإِيْمَانُ بالمُتَشَابِهِ “wajib beramal dengan yang muhkam dan beriman dengan yang mutasyaabih”.[30]

E. Hikmah Mengetahui Muhkam dan Mutasyabih

Jika dikatakan apa hikmah mengetahui atau penyebutan masalah al-muhkam dan al-mutasyaabih, maka sesungguhnya ada beberapa hikmah didalamnya antara lain:

  1. Merupakan sebuah rahmat bagi manusia saat manusia tidak mengetahui hal-hal yang mutasyaabih seperti perkara hari kiamat supaya mereka bersemangat dalam hidup ini dan tidak bermasalas malasan sekedar duduk ibadah mempersiapkan datangnya hari kiamat, hal ini juga membuat manusia tidak stress, gundah dan selalu gelisah ketika mereka mengetahui hakikat kematian, kiamat dan lain-lain.
  2. Sebagai ujian bagi manusia apakah mereka beriman dengan sesuatu yang ghaib hanya dengan berita yang dibawa syariat?
  3. Mengambil pelajaran bahwa dakwah haruslah dengan bahasa dan kadar kemampuan yang sesuai dengan yang didakwahi.
  4. Penegakan dalil akan kelemahan dan kebodohan manusia.
  5. Beragamnya pendapat yang bisa ditoleran, sehingga tak bisa kita bayangkan kalaulah semua ayat itu muhkam maka tidak akan ada madzhab kecuali hanya satu pendapat saja.[31]

KESIMPULAN

  1. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih diantaranya adalah apa yang disimpulkan oleh Imam az-Zarkasyiy –rahimahullah- berkata:

وَأَمَّا فِيْ الاِصْطِلَاحِ فَهُوَ مَا أَحْكَمَتْهُ بِالأَمْرِ وَالنَّهْيِ وبَيَانِ الْحَلَالِ والحَرَامِ

“Adapun secara istilah al-Muhkam adalah apa yang telah ditetapkan atau dikuatkan dengan perintah dan larangan dan penjelasan tentang halal dan haram.”

وأما المَتَشَابِهُ فأَصْلُهُ أن يَشْتَبِهَ اللَفْظُ في الظَاهِرِ مع اخْتِلَافِ الْمَعَانِي

“Adapun al-mutasyabih pada dasarnya adalah kemiripin lafadz secara dhzahir sementara maknanya berbeda.”

  1. Macam-macam al-mutasyabih antara lain al-Mutasyabih al-Haqiqiy dan al-Idhafiy
  2. diantara yang termasuk al-Mutasyabihat adalah Ayat-ayat Tentang Sifat-sifat Allah
  3. Perdebatan Ulama Seputar Mutasyabihat yang penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhur ahlusunnah dari kalangan salaf.
  4. Terdapat banyak hikmah saat mengetahui permasalahan muhkam dan mutasyabih diantaranya sebagai ujian bagi kita apakah kita beriman kepada hal yang ghaib, atau juga menjelaskan tentang hakikat lemah dan bodohnya kita sebagai insan.

الله أعلم

_________________________________

[1] Fahad bin Abdurrahman bin Sulaiman ar-Rumiy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, (Riyadh: Maktabah Malik Fahd al-Wathaniyah, cet. 14, 2005 M) hal. 502.

[2] Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w.395 H, Maqayisu al-Lughah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 221.

[3] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayyumiy al-Muqriy w.770 H, al-Mishbah al-Munir, (Kairo: Dar al-Hadits, cet.2008 M) hal. 95.

[4] Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy w.393 H, ash-Shihah, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2009 M) hal. 270.

[5] Muhammad bin Ya’kub al-Fayruz Abadiy w.817 H, al-Qamus al-Muhith, ( Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2008 M) hal. 389.

[6] Al-Hasan bin Abdullah Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H, al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Ilmu wa ats-Tsaqafah, tanpa tahun)

[7] Ibnu Faris, Maqayisu al-Lughah, hal. 469.

[8] Abu Hilal al-‘Askariy w.395/400 H menyatakan bahwa antara اَلشِّبْهُ dan اَلشِّبِيْهُ ada perbedaannya, beliau berkata:

اَلْفَرْقُ بَيْنَ الشِّبْهِ والشَّبِيْهِ: أن الشِّبْهَ أَعَمُّ مِنَ الشَّبِيْهِ أَلَا تَرَاهُمْ يَسْتَعْمِلُوْنَ الشِّبْهَ في كُلِّ شئٍ، وَقَلَّمَا يَسْتَعْمِلُ الشَّبِيْةَ إلا في الْمُتَجَانِسَيْنِ, تقول زَيْدٌ يُشْبِهُ الاَسَدَ أو شِبْهُ الكَلْبِ، ولا يكَادُونَ يقولون شَبيهُ الاَسَدِ وشبيهُ الكَلْبِ ويقولون زَيْدٌ شَبِيْهُ عَمْرٍو

Perbedaan antara syibhu dan syabih: syibhu lebih umum dibanding syabih, tidakkah kau lihat mereka menggunakan syibhu pada segala sesuatu dan sedikit sekali menggunakan syabih kecuali penggunaan terhadap dua hal yang sejenis. Jika kau katakan: “Zaid seperti (يشبه)singa dan zaid seperti (شبه) anjing”, dan mereka hampir tidak mengatakan: “mirip (شبيه) singa dan mirip (شبيه) anjing”, akan tetapi mereka mengatakan: “Zaid mirip (شبيه) ‘Amr“. Lihat: Al-Furuq al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Ilmi wa ats-Tsaqafah) hal. 153.

[9] Abu al-Qasim al-Husein bin Muhammad ar-Raghib al-Asfahaniy w.502 H, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,(Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2012 M) hal. 280.

[10] Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyiy w. 794 H, al-Burhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 370.

[11] Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthiy w.911 H, al-Itqhan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2006 M) hal. 5,Jilid 3.

[12] Muhammad Abdul’adzim az-Zarqaniy w. 1367, Manahilu al-Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadits, cet. 2001 M) hal. 227, Jilid 2.

[13] Tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan ahlusunnah disini, karena imam Ahmad dan sebagainya yang tersebut adalah dari kalangan ahlusunnah.

[14] Pendapat ulama usul fiqih berkait al-Muhkam dan al-Mutasyabihah antara lain:

  1. Al-Muhkam adalah al-Mufassar yaitu yang berdiri sendiri dan jelas maknanya, al-Mutasyabih adalah al-Mujmal keumuman kata yang tidak bisa dipahami secara mutlaq melainkan membutuhkan penelitian karena berkemungkinan memiliki makna lebih dari satu.
  2. Al-Muhkam adalah yang maknanya jelas dan dipahami oleh ulama dan penuntut ilmu lainnya, dan al-Mutasyabih adalah yang maknanya hanya bisa diketahui oleh ulama saja.
  3. Al-Muhkam adalah sesuatu yang diketahui makna dan tafsirnya sedangkan al-Mutasyabih yang tidak kita ketahui maknanya seperti huruf muqatha’ah.

Lihat: Imam Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisiy w. 620 H, Raudatu an-Nadzir wa Jannatu al-Manadzir fi Usul al-Fiqh, ((Beirut: Dar Ihyaturats al-Arabiy, tanpa tahun) hal. 51. Lihat pula syarah kitabnya oleh Prof. Dr. Abdulkarim bin Ali bin Muhammad bin Namlah, Ithaf Dzawi al-Bashair bi Syarhi Raudhatu an-Nadzir fi usul al-fiqh, (Riyadh: Maktabah ar-Rusydi, cet. 5, 2008 M), hal. 644-647, Jilid 2.

[15] Al-Hasan bin Muhammad bin Abdullah Syarifuddin ath-Thayyibiy w. 743 H.

[16] Ibrahim bin Musa bin al-Lakhamiy al-Gharnathiy al-Malikiy Abu Ishaq asy-Syatibiy w. 790 H, al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari’ah, (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy, cet. 2013 M) hal. 73, Juz 3.

[17] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, (Kairo: Dar Ibnu Affan, cet. 2013 M) hal.214, jilid 2.

[18] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 12, Juz 3. Lihat juga: Manahil al-Qur’an hal.234, jilid 2. Dirasat fi Ulum al-Qur’an al-Karim, hal. 512.

[19] Thaha ayat 5

[20] Ar-Rahman ayat 27

[21] Al-Fath ayat 10

[22] Kemudian madzhab khalaf berbeda pendapat dalam menta’wil:

  1. Kelompok asy-‘Ariyah menta’wilnya tanpa menetapkan makna lain, mereka berkata: sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah Allah memiliki sifat sam’iyah yang mana kita tidak tahu bagaimana hakikatnya yang dinamakan sifat istiwa’.
  2. Kelompok mutaakhirin menta’wil dan menetapkan atau memalingkan kepada sifat lain, mereka berkata: istiwa’ maknanya adalah istila’ tanpa berlebih-lebihan atau takalluf.

Lihat: Manahil al-Qur’an hal. 241, jilid 2.

[23] Istilah madzhab mutawassith ini ditulis oleh az-Zarqaniy dalam Manahil hal. 241, Jilid 2.

[24] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 14-15, Juz 3.

[25] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet. 3, 2000 M) hal.222.

[26] Imam as-Suyuthiy, al-Itqhan, hal. 7, Juz 3.

[27] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, hal. 222.

[28] Muhyiddin ad-Darwisy w. 1403 H/1982 M, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu ,(Beirut: Dar al-Yamamah, cet. 11, 2011 M) hal. 395, Jilid 1.

[29] Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Raziy w. 606 H, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 2000 M) hal. 153, Jilid 7.

[30] Khalid Utsman as-Sabt, Qawaid at-Tafsir, hal. 212, Jilid 2.

[31] Az-Zarqaniy, Manahil al-Qur’an, hal. 235-236, jilid 2.

Share This Article