ADAB LISAN, TETANGGA DAN TAMU, SYARAH ARBA’IN KE 15

elhijaz
elhijaz 4 Min Read

HADITS KE 15

(AKHLAK ISLAM)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه-, عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam saja, dan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya”.

(Hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhârî no. 2018,2019, pada kitab adab,[1] Muslim no. 71, pada kitab iman,[2]  at-Tirmidzî no. 2500, kitab sifat kiamat…,[3] Abu Dâwud no. 5154, bab hak tetangga,[4] dan Ahmad no. 6621.[5])

Contents
HADITS KE 15(AKHLAK ISLAM)عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ -رضي الله عنه-, عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُDari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda:“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam saja, dan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamunya”.Hadits di atas menunjukkan akhlak Islam yang menerangkan kaitan antara  iman dengan adab menjaga lisan terutama kepada tetangga dan tamunya.Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini merupakan perintah untuk berahlak mulia dan larangan dari akhlak yang buruk, di mana orang yang memiliki iman akan melahirkan sifat belas kasih kepada makhluk Allah dengan berbicara yang baik dan diam dari perkataan buruk.Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadits tersebut mengandung sifat-sifat iman sebagai berikut:Berbicara yang baik atau diam (dari berkata yang buruk).Berbuat baik kepada tetangga.Berlaku baik dalam melayani tamu.FIQIH HADITS:Berbicara Baik atau Diam.Imam an-Nawawî mengatakan:“Jika seseorang hendak berbicara maka lihatlah apakah yang ingin dia ucapkan adalah sebuah kebaikan? Apakah yang hendak ia ucapkan adalah berpahala? Apakah yang hendak dia ucapkan wajib atau sunnah? jika jawabnya ia, maka katakanlah. Namun jika yang hendak dia katakan adalah hal yang masih belum jelas apakah baik atau tidak, maka tahanlah meskipun mubah, ditakutkan akan membawanya kepada sesuatu yang diharamkan.”Memuliakan Tetangga.Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:“Yang demikian ialah dengan berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya (baik dengan perkataan ataupun perbuatan).”Memuliakan Tamu.al-Mubârakfûrîy mengatakan:“Bentuk memuliakan tamu dapat dilakukan dengan menampakkan muka yang berseri-seri, tutur kata yang baik dan memberi jamuan makanan sesuai keadaan tanpa harus membebani diri sendiri”.Semoga Allah berikan Taufik kepada kita untuk dapat mengamalkan kandungan hadits tersebut. Amin.
Hadits di atas menunjukkan akhlak Islam yang menerangkan kaitan antara  iman dengan adab menjaga lisan terutama kepada tetangga dan tamunya.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini merupakan perintah untuk berahlak mulia dan larangan dari akhlak yang buruk, di mana orang yang memiliki iman akan melahirkan sifat belas kasih kepada makhluk Allah dengan berbicara yang baik dan diam dari perkataan buruk.[6]
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadits tersebut mengandung sifat-sifat iman sebagai berikut:
  1. Berbicara yang baik atau diam (dari berkata yang buruk).
  2. Berbuat baik kepada tetangga.
  3. Berlaku baik dalam melayani tamu.[7]
FIQIH HADITS:
  1. Berbicara Baik atau Diam.
Imam an-Nawawî mengatakan:
“Jika seseorang hendak berbicara maka lihatlah apakah yang ingin dia ucapkan adalah sebuah kebaikan? Apakah yang hendak ia ucapkan adalah berpahala? Apakah yang hendak dia ucapkan wajib atau sunnah? jika jawabnya ia, maka katakanlah. Namun jika yang hendak dia katakan adalah hal yang masih belum jelas apakah baik atau tidak, maka tahanlah meskipun mubah, ditakutkan akan membawanya kepada sesuatu yang diharamkan.”[8]
  1. Memuliakan Tetangga.
Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Yang demikian ialah dengan berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya (baik dengan perkataan ataupun perbuatan).”[9]
  1. Memuliakan Tamu.
al-Mubârakfûrîy mengatakan:
“Bentuk memuliakan tamu dapat dilakukan dengan menampakkan muka yang berseri-seri, tutur kata yang baik dan memberi jamuan makanan sesuai keadaan tanpa harus membebani diri sendiri”.[10]

Semoga Allah berikan Taufik kepada kita untuk dapat mengamalkan kandungan hadits tersebut. Amin.

========================

Sabtu, 11 Sya'ban 1441 H/04 April 2020
Oleh: Ust. Imron Rosyid, Lc.M.Ag.
MA'HAD EL-HIJAZ
Pesantren Khusus Putri
JAKARTA TIMUR

REFERENSI:

[1] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari (194-256 H), Shahîh al-Bukhârîy, (Kairo: Maktabah al-Îmân al-Manshûrah, 1423 H/2003 M) hal.1242.

[2] Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairîy an-Naisabûrîy, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ibnu Hazm, 2010M) hal.

[3] Muhammad bin ‘Îsa bin Sûrah abu Îsa at-Tirmidzî, Sunan at-Tirmidzî, (Kairo: Dâr Ibnu al-Jauzî, 1432H/2011M) hal. 456.

[4] Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Dâwûd as-Sajistân, Sunan Abu Dâwûd, (Kairo: Dâr Ibnu al-Jauzî, 1432H/2011M) hal. 593.

[5] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, al-Musnad, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1433H/2012) Jilid 5, hal. 87.

[6] Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî, Fathu al-Bârî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004 M) Jilid 10, hal. 503.

[7] Abdurrahman bin Syihabuddin al-Bagdâdî bin Rajab al-Hanbalî, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, (KSA: Dâr Ibnu al-Jauzî, cet. 7, 1431 H/2010M) hal. 244-260.

[8] Muhyiddîn bin Syaraf an-Nawawîy, Syarah shahîh muslim, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994 M), Jilid 1, hal.295.

[9] Abu Abdillah Mahmûd bin al-Jamîl, Syarhu al-Arbaîn an-Nawawiyah, (Kairo: Dâr al-Mustaqbal, 1426H/2005M) hal. 191.

[10] Muhammad bin Abdurrahmân bin Abdurrahîm al-Mubârakfûrîy, Tuhfatu al-Ahwadzîy, (Suria: Dâr al-Manhal Nâsyirûn, 1432H/2011M) Jilid 7. hal. 251.

Share This Article