NASIHATILAH AKU…!

elhijaz
elhijaz 9 Min Read

Sungguh kita memuji Allah Dzat yang maha sempurna dari kekurangan dan kekhilafan, yang mengutus sebaik-baik insan yang paling sempurna dari zaman kezaman dialah Muhammad ﷺ pemimpin dunia akhirat yang tak terbandingkan.

Siapalah kita yang tak luput dari kelemahan, kekurangan dan kesalahan?

Bukankah kita tercipta berdampingan untuk saling mengisi kekurangan?

Mengapa terkadang mata kita tertutup kebencian hingga buta akan kebaikan atau mata terbalut cinta hingga buta akan kesalahan?

Benarlah Imam as-Syafi’I yang berkata:

وَعَيْنُ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ ** وَلَكِنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِي المَسَاوِيَا

“Mata yang penuh kerelaan akan buta terhadapan kekurangan, akan tetapi mata yang penuh kebencian akan menampakkan keburukan”[1]

Bukanlah sebuah kekurangan saat kita mengambil pelajaran, karena memang segala kebaikan dan pujian yang mutlak hanya kembali kepada Ar-Rahman ﷻ.

Dan bukan pula sebuah celaan jika kita dapati keburukan kemudian kita kemas seuntai nasihat untuk kebaikan.

Bukankan kehidupan adalah tempat untuk satu sama lain mengisi kekurangan?

Maka bukannka sebuah kemuliaan saat kita ucapkan “Nasihatilah aku..!” ?

Sudah lapangkah hati kita untuk mengucapkan kata “Nasihatilah aku..!” ?

Ataukah masih ada didalam kita setitik kesombongan untuk selalu meminta nasihat kepada orang lain bahkan menerima nasihat itu?

Bukankah nasihat adalah bagian dari agama dan merupakan kewajiban yang diemban oleh seorang muslim?

Ketahuilah – semoga Allah merahmati kita- bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda:

الدين النصيحة

“Agama adalah Nasihat” (H.R Muslim no.55 Kitab al-Iman)[2]

Rasulullah ﷺ juga menjelaskan bahwa diantara hak seorang muslim adalah mendapatkan sebuah nasihat.

Beliau ﷺ bersabda:

وإذا استنصحك فانصح له

“Jika dia (saudaramu) meminta nasihat, maka nasihatilah dia” (H.R Muslim no.2162 Kitab as-Salam)[3]

Kenapa tidak?

Karena nasihat adalah hak dan kewajiban sesama muslim dalam menutup celah-celah kekurangan guna menuju hari yang lebih baik.

Namun hendaklah kita memperhatikan adab atau tata krama didalam menasihati seseorang, karena terkadang seuntai kebaikan tertolak jika tidak dilakukan dengan cara yang baik juga.

Adab-adab dalam menasihati:

  1. Dimulai dari orang yang terdekat.

Hendaklah nasihat itu ditujukan lebih dahulu kepada kerabat, saudara, teman atau orang yang terdekat, karena kita lebih mengenalnya dan dia mengenal kita.

Sehingga dengannya kita lebih mudah bagaimana melakukan pendekatan dalam rangka menasihatinya.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا …

“Wahai orang-orang yang beriman lindungan dirimu dan keluargamu dari api neraka….” (Q.S at-Tahrim [66] : 6)

Maknanya adalah hendaknya kita memulai nasihat, dakwah amar ma’ru nahi mungkar itu dari kerabat dekat kita dahulu[4].

  1. Ikhlas dan ketulusan hati.

Haruslah nasihat itu keluar dari hati yang ikhlas, hati yang tulus dan jujur dalam menasihati.

Karena sesungguhnya kata “Nasihat” berasal dari bahasa arab نَصَحَ yang artinya adalah keikhlasan, ketulusan dan kejujuran[5].

Dan ketahuilah bahwa nasihat yang keluar dari hati akan sampai kehati pula.

  1. Kecintaan dan belas kasih.

Nasihat hendaklah didasari kecintaan dan belas kasih, karena itu merupakan kesempurnaan iman seseorang.

Rasulullah ﷺbersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah sempurna iman kalian sampai kalian mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri” (H.R al-Bukhariy no. 13 dan Muslim no.45)

  1. Lemah lebut.

Hendaklah nasihat itu disampaikan dengan tutur kata yang lemah lembut, karena tabiat hati itu lembut mudah tersinggung dan tidak menyukai kekasaran.

Mari kita lihat sejarah manusia pembangkan yang kafir yaitu Fir’aun, dia telah menentang agama dan nabi Allah ﷻ namun perhatikan bagaimana nabi Musa dan Harun diperintahkan dalam menasihatinya.

Allah berfirma:

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kalian berdua ( Musa dan Harun) kepada fir’aun sungguh dia telah melampaui batas. Dan katakanlah kepadanya perkataan yang lembut, semoga saja dia sadar dan takut” (Q.S Thaha [20] : 43-44)

  1. Menyesuaikan posisi nasihat (لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ).

Hendaklah kita melihat siapa yang kita nasihati.

jikalau dia lebih tua atau diatas kita maka sesuaikan kedudukannya.

Jangan kita samakan mereka seperti anak kecil dalam menyampaikan nasihat tersebut.

karena setiap posisi itu ada bahasa yang harus disesuaikan dengan orang yang kita nasihati.

Inilah hikmah dimana kita mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Kesombongan adalah sebab utama terhalangnya nasihat

Sebab utama terhalangnya nasihat diantaranya adalah kesombongan.

Sombong karena merasa lebih tua …

Sombong karena merasa lebih pintar …

Sombong karena merasa lebih kaya …

Sombong karena merasa lebih ini dan itu …

Dan inilah maksiat yang pertama kali dilakukan oleh iblis yaitu penentangannya karena sombong.

Allah ﷻ mengkisahkan cikal bakal kesombongan ini didalam kalamNya ﷻ:

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (12) قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُونُ لَكَ أَنْ تَتَكَبَّرَ فِيهَا فَاخْرُجْ إِنَّكَ مِنَ الصَّاغِرِينَ (13)

“Allah berfirman: “apa yang menghalangimu saat aku memerintahkanmu untuk bersujud?”,

iblis berkata: “aku lebih baik darinya, engkau ciptakan aku dari api sementara engkau menciptakannya dari tanah”

Allah berfirman: “turunlah engkau dari syurga! Tidak pantas engkau menyombongkan diri didalamnya, keluarlah! Sungguh engkau termasuk dari golongan yang dihinakan”. (Q.S Thaha [20] :12-13)

Itulah kesombongan yang menimpa orang-orang yang tertipu oleh dunia, tertipu oleh kedudukan, kekayaan, ilmu, umur dan lainnya yang membuatnya gengsi serta enggan menerima nasihat yang datang dari pihak yang menurutnya lebih rendah.

Merekalah yang diancam oleh Rasulullah ﷺ:

لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر قال رجل إن الرجل يحب أن يكون ثوبه حسنا ونعله حسنة قال إن الله جميل يحب الجمال الكبر بطر الحق وغمط الناس

“Tidak akan masuk syurga seseorang yang didalam hatinya ada kesombongan sebesar atom. Seorang berkata: seseorang suka memakai baju bagus dan sendal bagus?(apakah itu sombong) Rasulullah bersabda: sungguh Allah itu maha indah dan menyukai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang”. (H.R Muslim, no. 91 bab pengharaman sombong)

Maka dari itu saudaraku kaum muslimin dan muslimat…

Hendaklah kita hindari kesombongan itu…

Siapapun yang menasihati kita sebuah kebaikan, terimalah dengan lapang dada meskipun dia lebih miskin, lebih muda, lebih bodoh, lebih rendah dan lebih lemah dari kita.

Sebagaimana dikatakan:

الحكمة ضالة المؤمن فحيث وجدها فهو أحق بها

“Hikmah adalah barang berharga seorang mu’min yang hilang, kapan saja dia temukan maka dia lebih berhak untuknya”

“Karena bisa jadi banyak kesalahan pada diri kita yang tak pernah kita sadari, karena tertutupi oleh kesombongan hati”

الله تعالى أعلم

Artikel ini telah diposting sebelumnya oleh www.mahad-alanshar.or.id

Sumber: Khutbah Jum'at Ust. Imron Rosyid Astawijaya
Alumni S1 Jurusan Syariah LIPIA, S2 Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Institut Ilmu Qur'an (IIQ – Jakarta).
Referensi:

[1] Muhammad bin Idris as-Syafi’I wafat 204 H – 767 M, Diwan al-Imam as-Syafi’i (Beirut: Dar al-kitab al-‘arabiy 1416 H – 1996 M) hal. 165.

[2] Al-Imam Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj wafat 261 H – 875 M, Shahih Muslim (Beirut: Dar ibnu Hazm 1430 H – 2010 M) hal. 51.

[3] Al-Imam Abu al-Husein Muslim bin al-Hajjaj wafat 261 H – 875 M, Shahih Muslim (Beirut: Dar ibnu Hazm 1430 H – 2010 M) h. 960.

[4] Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi wafat 773 H – 1371 M, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Riyadh: Dar thayibah 1430 H – 2009 M) h. 167, Jilid 5, Juz 8.

[5] -Abu al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwain wafat tahun 395 H – 1005 M, Mu’jam maqayis al-lughah,(Kairo: Dar al-hadits, 1429 H – 2008 M) h. 901, jilid 2.

-Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumiy al-Muqriy wafat wafat 770 H – 1368 M, Al-Misbah al-munir fi gharib al-hadits al-kabir (Kairo: Dar al-hadits 1429 H – 2008 M) h. 380.

Share This Article