ALLAH AKAN MENGUTUS PEMIMPIN YANG SERUPA DENGAN RAKYATNYA.

elhijaz
elhijaz 11 Min Read

ALLAH AKAN MENGUTUS PEMIMPIN YANG SERUPA DENGAN RAKYATNYA

Tafsir Q.S al-An’am [6] : 129

Benturan-benturan antar sendi dalam gejolak kehidupan yang kerap kita rasakan merupakan dampak nyata adanya ketimpangan antara peradaban dimensi duniawi dan ukhrawi.

Dimana pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi diimbangi oleh pengetahuan tentang ilmu agama sebagai panduan hakikat terciptanya kedamaian.

Diantara ciri-ciri kejahilan tersebut adalah merajalelanya cacian, gunjingan dari berbagai elemen masyarakat terhadap pemimpin, membeberkan aibnya didepan publik bahkan memfitnah dengan perkataan dan perbuatan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia terlebih lagi syariat Islam.

Tak ubahnya “bagai menepuk air dalam belanga” mereka tidak sadar bahwa semua itu adalah buah dari status keberadaan mereka sebagai penyebabnya.

Mereka lupa bahwa pemimpin adalah satu cermin dari mayoritas rakyatnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“dan Demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang dzalim itu menjadi wali (pemimpin) bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang telah mereka usahakan”. (QS. Al An’am[6]:129)

Munasabah ayat:

Dalam ayat sebelumnya Allah menyatakan bahwa Dia Rabb kalian adalah maha bijaksana dan maha mengetahui.

Maka dalam ayat ini Allah memperlihatkan kebijaksanaannya dengan mengutus kepada masyarakat yang baik seorang pemimpin yang baik, sebaliknya masyarakat yang buruk akan dikirim pula kepadanya pemimpin yang buruk.

Karena Allah maha mengetahui tentang apa saja yang telah mereka lakukan, maka Allah beri balasan yang setimpal dengan perbuatan mereka.

Apa yang dimaksud dengan wali pada ayat ini?

Imam asy-Syaukânîy –Rahimahullah– dalam kitab tafsirnya Fathu al-Qadîr berkata:

“sebagaimana yang telah diperbuat oleh jin dan manusia sebelumnya (dalam ayat sebelumnya bahwa manusia dan jin melakukan hal yang dilarang yaitu saling kerja sama antar mereka) maka kami jadikan diantara mereka wali (yaitu pemimpin) sebagian yang lain”[1].

Kemudian beliau berkata:

فَمَعْنَى نُوَلِّي عَلَى هَذا : نَجْعَلُه وَلِياً لَهُ

“Yang dimaksud menjadikan wali disini adalah wali yang berarti loyalitas dan kepemimpinan.”

Makna ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah– tatkala menjelaskan bab tentang wala’/loyalitas dimana beliau berkata[2]:

“Loyalitas (wala’/الولاية) adalah lawan kata permusuhan (العداوة). Dan loyalitas itu berasal dari cinta dan kedekatan, dan Permusuhan itu berasal dari kebencian dan jarak yang jauh. Makanya diantara makna wali dalam bahasa arab adalah qarib/dekat (kerabat).”

Selaras dengan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا أَبْقَت الْفَرَائِضُ فَلِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ[3]

“berikanlah hak waris itu kepada ahlinya, dan sisanya untuk wali laki-laki”. (HR. al-Bukhârîy)

Arti wali disini adalah dekat yaitu untuk laki-laki yang dekat dengan mayit.

Imam as-Suyûthîy –Rahimahullah– dalam kitab tafsirnya ad-Dûr al-Mantsûr menjelaskan tafsir ayat ini.

Beliau menukil dari Abdu ibn Humaid dan Ibnu Mundah dan Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh mengeluarkan (riwayat) dari Qatadah dalam Firman Allah {وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَالِمِيْنَ بَعْضًا}, Dia berkata:

“sungguh tidaklah Allah menjadikan pemimpin diantara manusia melainkan sesuai dengan perbuatan mereka. Orang mukmin pemimpinnya mukmin, dari manapun dia dan bagaimanapun kondisinya, dan orang kafir akan diberi pemimpin serta loyalitasnya orang kafir darimanapun dan bagaimanapun kondisinya. Karena Iman bukanlah sekedar angan-angan dan hiasan belaka. Sungguh aku bersumpah, kalaulah engkau berbuat ketaatan kepada Allah lantas engkau tidak mengenal pelaku keataan maka itu tak kan mencelakakanmu, dan kalaulah engkau berbuat maksiat kepada Allah kemudian engkau dipimpin oleh ahli ketaatan maka itupun tak akan memberikan manfaat sedikitpun”[4].

 

“Allah yang maha kuasalah yang memilih dan mengangkat para pemimpin itu”

Dari sini kita ketahui bahwa segala yang kita dapatkan adalah buah dari perbuatan kita sendiri.

Dan Allah Maha kuasa untuk mengirim kepada hambanya seorang pemimpin yang dikehendakiNya.

Inilah Firman Allah Ta’ala yang semakna:

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Âli Imrân[3]:26)

Syaikh Abdulmalik Ramadhaniy menukilkan tafsir Muhammad Haqqiy perihal ayat ini yang maknanya:

“Jika kalian dari golongan ahli ketaatan maka Allah akan memberikan pemimpin yang penuh kasih sayang. dan jika kalian dari golongan pelaku maksiat maka Allah akan berikan kepada kalian pemimpin yang kejam yang suka menyiksa”[5].

Maka tiadalah berakhlak dan beradab jika kita selalu menggunjing, pemimpin, mencaci dengan tuntutan serta mengorek dan membeberkan keburukannya karena semua itu adalah adzab dari apa yang telah kita perbuat.

Imam asy-Syaukâniy –Rahimahullah– berkata:

“Itu semua disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka lakukan, maka kami jadikan pimimpin itu orang yang seperti mereka”[6].

Tersingkaplah bahwa awal kebaikan negeri ini dimulai dari kebaikan masyarakatnya.

Jika masyarakatnya jujur maka Allah akan utus pemimpin yang jujur…

Jika masyarakatnya baik maka Allah akan utus pemimpin yang baik….

Jika masyarakatnya santun maka Allah akan utus pemimpin yang santu, dan begitu seterusnya….

Imam as-Suyûthîy –Rahimahullah- berkata:

وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخ عن مَنْصُوْرٍ بنِ أَبي الْأَسْوَد قَالَ : سَأَلْتُ الأَعْمَشَ عَنْ قَوْلِهِ {وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَالِمِيْنَ بَعْضًا} مَا سَمِعْتَهُمْ يَقُوْلُوْنَ فِيْهِ؟ قَالَ : سَمِعْتُهُمْ يَقُوْلُوْنَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ أُمِّرَ عَلَيْهِمْ شِرَارُهُمْ.

Abu Syaikh telah mengeluarkan riwayat dari Manshûr bin Abi al-Aswad, beliau berkata:

“aku bertanya kepada al-A’masy tentang ayat ini, apa yang engkau dengar dari mereka (shahabat atau tabiin) tentang ayat ini? al-A’masy menjawab: aku mendengar mereka berkata: Jika manusia telah rusak maka mereka akan dipimpin oleh orang-orang buruk dari mereka[7].

Faidah Tafsir:

  1. Kunci kebahagiaan adalah Islam.
  2. Semua keburukan adalah ulah dari dosa-dosa kita sendiri.

Hendaklah kita selalu bertaubat dan istiqfar serta berusaha untuk menjauhi maksiat.

  1. Allah akan mengutus pemimpin sesuai keadaan masyarakatnya.

عَنْ كَعْب الأَحْبَارِ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ مَلِكًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى قُلُوْبِ أَهْلِهِ, فَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ صَلَاحًا بَعَثَ فِيْهِمْ مُصْلِحًا, وَإِذَا أَرَادَ بِقَوْمٍ هَلَكَةً بَعَثَ فِيْهِمْ مترَفًا .

Dari Ka’ab al-Ahbar, dia berkata:

“Sungguh Allah akan mengutus raja(pemimpin) disetiap zaman sesuai dengan hati-hati penduduknya, jika Allah menginginkan kebaikan terhadap suatu kaum maka diutus kepada mereka pemimpin yang melakukan perbaikan, dan jika Allah menginginkan kehancuran terhadap kaum tersebut maka akan diutus kepada mereka pemimpin yang bermegah-megahan”[8].

Benih kelompok yang suka merongrong pemimpin

Mari kita simak sejarah umat terdahulu yang terukir sebagai pelajaram, bagaimana keadaan pemimpin mereka;

وقَالَ عُبَيْدَةُ السَلْمَانِي لِعَلِيٍّ بنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا بَالُ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرُ اِنْطَاعَ النَاسُ لَهُمَا، وَالدُّنْيَا عَلَيْهِمَا أَضْيَقُ مِنْ شِبْرٍ فَاتَّسَعَتْ عَلَيْهِمَا وَوُلِيْتَ أَنْتَ وَعُثْمَانُ الْخِلَافَةَ وَلَمْ يَنْطَاعُوا لَكُمَا، وَقَدْ اِتَّسَعَتْ فَصَارَتْ عَلَيْكُمَا أَضْيَقَ مِنْ شِبْرٍ؟ فَقَالَ: لِأَنَّ رَعِيَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانُوا مِثْلِي وَمِثْلَ عُثْمَانَ، وَرَعِيَّتِي أَنَا الْيَوْمَ مِثْلُكَ وَشِبْهُكَ!

Ubaidah As-Salmânîy berkata kepada Ali bin Abi Thâlib –Radhiyallahu ‘Anhu-:

“Wahai Amiralmukminin, apa gerangan yang membuat manusia taat kepada Abu Bakar dan Umar? Padahal dahulunya bagi mereka berdua dunia lebih sempit dari sejengkal tanah, kemudian menjadi luas. Sementara saat engkau dan Utsman menjadi khalifah, manusia tak menataati kalian berdua, dunia yang dahulunya luas menjadi lebih sempit dari sejengkal tanah bagi kalian berdua?”

Ali –Radhiyallahu ‘anhu– menjawab:

“Karena rakyatnya dimasa Abu bakar dan Umar adalah seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang ini seperti kamu dan orang-orang yang serupa dengan kamu.”[9]

  1. Perbaikan sebuah negeri berawal dari perbaikan individu.

Mustahil kita memimpikan seorang pemimpin yang cerdas, kalau kita sendiri malas belajar….

Mustahil kita mendambakan pemimpin yang jujur kalau kita sendiri masih mencuri waktu, rambu-rambu dan suka berbohong….

Mustahil kita menginginkan pemimpin yang agamis kalau kita sendiri suka bermaksiat dan acuh dengan agama….

Mustahil kita berangan seorang pemimpin yang baik dan santun sementara kita sendiri kasar, bengis dan brutal….

Maka seperti kondisi kita, seperti itu pulalah pemimpin yang akan Allah berikan kepada kita….

الله تعالي أعلم

Diringkas dari Khutbah Jum'at:

Ust. Imran Rasyid Astawijaya

Masjid Al-Fajar, Jl. Kp. Baru I, Kelapa Dua Wetan Ciracas Jakarta Timur 2014 M.

Referensi:

[1] Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukânîy w.1250 H, Tafsir Fathu al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannai ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min ‘Ilmi at-Tafsîr, (Riyadh: Maktabah Arrusyd, 1430 H/2009 M, Cetakan ke6) h. 63 jilid 2.

[2] Ahmad bin Abdulhalîm bin Abdussalâm ibnu Taimiyah w.728 H, al-Furqân Baina Auliâ’ ar-Rahmân Wa Auliâ’ asy-Syaithân, Tahqîq Basyîr Muhammad ‘Uyûn (Riyadh: Maktabah Al Muayyad 1413 H/1992 M cet. pertama) h. 7.

[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6732. Dalam Faraid, bab warisan anak dari ayah dan ibunya.

[4] Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin Ay-Suyûthiy w.911 H, Tafsir ad-Dûr al-Manshûr, (Beirut: Dâr al-Fikri, Cet. 1993 M) h.353, Jilid 3.

[5] Lihat: Abdulmalik Ramadhaniy, Kamâ Takûnu Yuwalla ‘alaikum, (Maktabah wa Tasjîlât al-Gurabâ’ al-Atsariyah, cetakan ke5 1429 H/ 2008 M) h.62.

[6] Asy-Syaukânîy, Tafsir Fathul Qadir , hal.63 Jilid 2.

[7] Asy-Syaukânîy, Tafsir Fathul Qadir, hal. 64 Jilid 2.

[8] As-Suyûthîy, Tafsir ad-Dûr al-Manshûr, hal.359 Jilid 3.

[9] Abu Bakr Muhammad bin Muhammad Bin Walîd ath-Thurthusiy al-Malikiy w.520 H, Sirâj al-Mulûk, bab. 41, hal. 94 jilid 1.

Share This Article