Membumikan Makna Dua Kalimat Syahadat
Haruskah kita pungkiri betapa banyaknya umat Islam yang bersyahadat “Tiada Tuhan Selain Allah” namun mereka masih melakukan kesyirikan?
Sanggupkah kita akui berapa banyak umat Islam yang bersyahadat “Muhammad adalah utusan Allah” namun mereka masih melakukan kebid’ahan?
Sadarkah kita bahwa kita baru bisa mengucapkan dua kalimat syahadat, namun belum mampu memahami dan mengamalkannya?
Ketahuilah –semoga Allah merahmati kita- bahwasanya diantara tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah untuk membumikan dua kalimat syahadat.
Hingga untuk tegaknya Dua Kalimat Syahadat ini Rasulullah diperintahkan oleh Allah untuk berperang.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله
“Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan (yang berhak diibadahi) kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.” (H.R. Bukhariy & Muslim)
Begitulah pentingnya dua kalimat syahadat ini untuk dipahami oleh seorang muslim dan wajib diamalkan apa yang menjadi konsekwensi yang terkandung di dalamnya.
Dua kalimat syahadat adalah rukun Islam yang pertama.
Dua buah persaksian yang menjadi pondasi awal keislaman seseorang, dimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
بني الإسلام على خمس، شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله …
“Islam dibangun diatas lima asas, yang pertama adalah dua kalimat syahadat…” (H.R Bukhariy & Muslim)
Jika rukun pertama ini hancur, maka runtuhlah rukun-rukun dan amalan lainya.
Dua kalimat persaksian dalam Islam ini adalah:
Pertama: Persaksian Tentang Keesaan Allah.
أشهدُ أن لا إله إلا الله
“Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan (yang berhak diibadahi) kecuali Allah.”
Kedua: Persaksian Tentang Pengutusan Muhammad صلى الله عليه وسلم Sebagai Nabi dan Rasul.
وأشهد أن محمداً رسولُ اللهِ
“Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Dua kalimat syahadat adalah syarat diterimanya amalan seseorang[1]
Pertama: Ikhlas karena Allah dalam beramal.
Ini adalah konsekwensi saat seseorang bersaksi “bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah.”
Maka seluruh amalnya harus karena Allah dan terhindar dari syirik, riya’, sum’ah dan lainnya yang menjadi penghianatan dan pembatal terhadap syahadat pertama ini.
Kedua: Ittiba’ (Mengikuti ajaran nabi Muhammad) dalam beramal.
Ini adalah konsekwensi saat seseorang bersaksi “bahwa sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Maka seluruh amalannya harus sesuai dengan syariat atau ajaran Rasulullah dan terhindar dari bid’ah yang menjadi penghianatan dan pembatal terhadap syahadat yang kedua ini.
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Betapapun ikhlasnya sebuah amalan, namun jika tidak sesuai syariat maka tidak akan diterima, Karena itulah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: siapa saja yang melakukan amalan yang bukan dari ajaranku maka tertolak“[2]
Allahu Ta’ala A’lam
Ditulis oleh:
Imron Rosyid Astawijaya
EL-HIJAZ Islamic and Arabic School, Ciracas JAKARTA TIMUR
[1] Ibnu Qayyim, Ighatsatu al-Lahfan fi mashayid asy-Syaithan, hal. 43, Juz I, Penerbit Dar Ibnu al-Jauziy, Dammam-KSA, Cet. 2009 M.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhzim, hal. 389, Juz I, Penerbit Dar ath-Thayyibah, Riyadh-KSA, Cet. 2008 M.