TAFSIR MAUDHU’IY AYAT-AYAT BIDADARI
Pembahasan yang ringkas ini akan mencakup 5 point, diantaranya:
- Ayat-ayat bidadari.
- Definisi bidadari.
- Proses penciptaan bidadari.
- Gambaran wujud bidadari.
- Hikmah diciptakannya bidadari.
A. Ayat-ayat bidadari dalam Al-Qur’an
1- كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِينٍ ]سورة الدخان الآية:54].
“demikianlah. dan Kami berikan kepada mereka bidadari”. (Q.S ad-Dukhan[44]: 54).
2- مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَّصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُم بِحُورٍ عِينٍ] سورة الطور الآية:20].
“mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli”. (Q.S ath-Thur[52]: 20).
3- حُورٌ مَّقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ] سورة الرحمن الآية:72].
“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah”. (Q.S ar-Rahman[55]: 72).
4- وَحُورٌ عِينٌ] سورة الواقعة الآية:22].
“dan ada bidadari-bidadari bermata jeli”. (Q.S al-Waqi’ah[56]: 22).
5- وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُواْ بِهِ مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ]سورة البقرة الآية:25].
“dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu.” mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Q.S al-Baqarah[2]: 25).
6- وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ] سورة الصافات الآية:48].
“di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya”. (Q.S ash-Shaffat[37]: 48)
7- فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ ]سورة الرحمن الآية:56].
“di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin”. (Q.S ar-Rahman[55]: 56).
8- وَكَوَاعِبَ أَتْرَاباً] سورة النبأ الآية :33].
“dan gadis-gadis remaja yang sebaya”. (Q.S an-Naba'[88]: 33). [1]
B. Definisi Bidadari (حُوْرٌ عِيْنٌ)
Kata حور عين yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan kata bidadari tersusun dari dua kata حور dan عين. Kita dapati para ulama bahasa mendefinisikan kata tersebut dalam kitab-kitab mereka.
Kata “حور” berasal dari sebuah kata yang memiliki tiga makna asal yaitu[2]:
- bermakna warna
- bermakna kembali
- bermakna pusaran dialog atau pemikiran.
Kata حور yang bermakna warna sebagaimana yang dikatakan حور adalah warna hitam dan warna putih yang pekat pada mata[3], dikatakan juga dengan pekatnya warna hitam pada mata sehingga warna putihnya nampak sedikit dan inilah jenis mata yang paling indah[4], biasanya wanita yang memiliki mata indah jenis ini diumpakan dengan simata jeli rusa betina[5]. Warna putih merupakan salah satu kriteria kecantikan seorang wanita, sebagaimana dikatakan oleh ‘Aisyah –Radiyallahu ‘anha-: “warna putih (kulit) merupakan separuh keindahan”, ‘Umar –Radiyallahu ‘anhu- juga berkata: “jika sempurna warna putihnya seorang wanita dengan rambut yang indah, maka telah sempurna keelokannya”[6].
Kata حور yang bermakna kembali terdapat pada ayat [ إنه ظن أن لا يحور] artinya: sesungguhnya dia menyangka tak akan pernah dikembalikan (al-Insyiqaq:14). kataحور disini juga bermakna تَرَدُّدٌ keraguan atau kebimbangan.[7]
Kata حور yang bermakna الحوار pusaran dialog sebagaimana dikatakan “احار الرجل الجواب” seseorang yang menjawab dalam sebuah dialog.[8]
Adapun kata عِيْنٌ secara bahasa berasal dari أَعْيَنُ و عَيْنَاء sebuah ungkapan untuk seekor sapi yang matanya indah, kemudian ditasybihkan kepada wanita yang memiliki mata lebar dan indah[9]. Sebagaimana juga kalangan salaf seperti as-Sudiy, al-Hasan, Ibnu Zaid dan lainnya mengatakan bahwa makna عين yaitu mata wanita yang lebar dan indah[10]. Al-Qur’tubiy berpendapat bahwa yang lebih masyhur didalam bahasa عين bisa bisa juga digunakan terhadap laki-laki[11].
Secara istilah
Bidadari adalah wanita syurga berkulit putih, bermata jeli dengan lentik bulu mata yang panjang serta sifat lain yang mencapai titik kesempurnaan dalam sebuah kecantikan pada seorang wanita[12]sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab dan sunnah.
C. Penciptaan Bidadari
Dari beberapa atsar menunjukkan bahwasanya bidadari telah ada seiring keberadaannya syurga, ini disinyalir dari hadits Anas beliau berkata:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: “مررت ليلة أسري بي في الجنة بنهر حافتاه قباب المرجان فنوديت منه السلام عليك يا رسول الله فقلت: يا جبريل من هؤلاء قال: هؤلاء جوار من الحور العين استأذن ربهن في أن يسلمن عليك فأذن لهن فقلن: نحن الخالدات فلا نموت أبدا ونحن الناعمات فلا نبؤس أبدا ونحن الراضيات فلا نسخط أبدا أزواج رجال كرام” ثم قرأ النبي صلى الله عليه وسلم ]حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ[
“beliau berkata: Nabi ﷺ berkata: pada malam perjalanan isra’ aku melintasi sungai disyurga yang dikedua tepinya ada kubah-kubah yang terbuat dari marjan, maka ada yang menyeruku: assalamualaika ya Rasulullah. Maka aku berkata pada Jibril: wahai Jibril, siapakah mereka itu? Jibril berkata: mereka adalah para bidadari yang berjajar meminta izin kepada Rabb mereka untuk mengucap salam kepadamu dan Allah mengizinkan mereka, maka mereka berkata: kami kekal dan tak akan mati selamanya, kami merasakan nikmat dan tidak akan sedih selamanya, kami ridha dan tak akan murka selamanya kepada suami-suami yang mulia. Kemudian Nabi membaca “حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ.[13]
Sementara kayfiyah penciptaannya telah Allah ﷻ jelaskan dalam firmannya:
إِنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاء{35} فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَاراً{36} عُرُباً أَتْرَاباً{37} ]الواقعة: 35-37[
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Q.S al-Waqi’ah[56]: 35-37)
Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang penciptaan bidadari, bahwa Allah menciptakan mereka langsung seketika menjadi gadis-gadis perawan sebagaimana perkataan Qatadah yang diriwayatkan oleh ath-Thabariy berkait tafsir إِنَّا أَنشَأْنَاهُنَّ إِنشَاء yaitu “kami ciptakan mereka sekaligus” sementara tafsir فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَاراً adalah “kami ciptakan mereka kembali menjadi gadis-gadis perawan”[14] yaitu wanita dari kalangan bani adam seperti hadits Ummu Salamah yang kita jelaskan sebelumnya. “Penuh cinta lagi sebaya umurnya” dikatakan oleh as-Sa’diy bahwa mereka dalam satu usia yaitu 33 tahun karena pada usia ini seorang wanita lebih matang dalam berkasih sayang[15].
Dalam riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat nash yang menjelaskan hakikat asal penciptaan bidadari:
إن لولي الله في الجنة عروسا لم يلدها آدم ولا حواء ولكن خلقت من زعفران
“Sesungguhnya didalam syurga ada pengantin yang diperuntukkan bagi wali-wali Allah, yang bukan dilahirkan dari adam dan hawwa’ akan tetapi diciptakan dari za’faran”[16].
Begitu juga dari Anas dengan tek hadits sebagai berikut:
عن أنس يرفعه لو أن حوراء بصقت في سبعة أبحر لعذبت البحار من عذوبة فمها وخلق الحور العين من الزعفران
Dari Anas yang menyandarkan hadits ini kepada Rasulullah: “seandainya bidadari meludahi tujuh lautan maka lautan itu akan menjadi tawar dari pengaruh tawarnya mulut bidadari itu, dan bidadari tercipta dari za’faran”.[17]
D. Gambaran Seorang Bidadari
- Kesuciannya.
وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُواْ بِهِ مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ]سورة البقرة الآية:25].
“dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu.” mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya”. (Q.S al-Baqarah[2]: 25).
Dikatakan dalam tafsir al-Jalalain bahwa yang dimaksud أزواج istri-istri adalah bidadari syurga dan selainnya[18], diantaranya adalah wanita shalihah tatkala didunia. Seperti yang ditanyakan Ummu Salamah kepada Rasulullah ﷺ tentang ayat عربا أترابا al-Waqi’ah:37,
قلت : يا رسول الله أخبرني عن قوله { عربا أترابا } قال : ( هن اللواتي قبضن في دار الدنيا عجائز رمضاء شمطاء خلقهن الله بعد الكبر فجعلهن عذارى …
beliau ﷺ menjelaskan bahwa yang dimaksud عربا أترابا adalah para wanita dunia yang wafat dimasa tuanya, kemudian Allah ciptakan kembali mereka disyurga dalam keadaan gadis belia[19].
Pada ayat diatas Allah menjelaskan sifat wanita syurga dengan مطهرة yaitu suci, dikatakan oleh al-Qurtubiy bahwa مطهرة secara bahasa lebih luas cakupannya dibanding kata طاهر[20]. Makanya tafsir kata مطهرة lebih mencakup suci dalam segala hal, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam ath-Thabariy dalam tafsirnya bahwa maksud suci adalah suci dari seluruh kotoran yang menghinggapi wanita saat didunia seperti haid, nifas, air besar atau air kecil, air liur dan lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mujahid[21].
Ibnu Qayyim berkata: “lisannya suci dari sesuatu yang keji, pandangannya suci dari melihat selain suaminya, bajunya suci dari segala noda”[22]. Hingga dikatakan kesucian disini adalah kesucian yang sempurna dari segala aib baik dzahir maupun batin, baik fisik atau akhlaknya [23].
- Terjaga pandangannya dan kehormatannya.
Sebagaimana telah kita jelaskan bahwa bidadari syurga itu memiliki kulit putih dan bermata indah yang menyimpan makna kehormatan yang selalu terjaga untuk suami mereka. Allah ﷻ berfirman:
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ (48) كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ (49)] سورة الصافات الآية:48-49].
“di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya. seakan-akan mereka adalah telur yang tersimpan dengan baik.”. (Q.S ash-Shaffat[37]: 48-49)
Dalam ayat diatas terdapat dua sifat bidadari yang disebutkan, yang pertama: قاصرات الطرف yang bermaka menundukkan pandangan, maksudnya adalah mereka bidadari syurga dengan mata indahnya selalu menjaga pandangannya hanya kepada suaminya saja, tidak menginginkan yang lain dan tidak melihat kepada selain suaminya. Sebagaimana Imam ath-Thabariy berkata:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو ، قَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عِيسَى ، وَحَدَّثَنِي الْحَارِثُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا وَرْقَاءُ ، جَمِيعًا عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ ، عَنْ مُجَاهِدٍ {وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ} قَالَ : عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ زَادَ الْحَارِثُ فِي حَدِيثِهِ : لاَ تَبْغِي غَيْرَهُمْ.
Muhammad bin ‘Amr telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Abu ‘Ashim telah menceritakan kepadaku, dia berkata: Isa telah menceritakan kepadaku, al-Harits telah menceritakan kepadaku, dia berkata: al-Hasan telah menceritakan kepada kami, dia berkata: Warqa’ telah menceritakan kepada kami, seluruhnya dari ibnu abi Najih dari Mujahid {وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ} dia berkata: “kepada suami-suami mereka”, al-harits menambahkan dalam haditsnya: “-bidadari itu- tidak mengharap yang lainnya“[24].
Yang kedua: بيض مكنون seperti putih telur. Yang dimaksud disini adalah putih telur yang masih terbungkus oleh kulitnya seolah menggambarkan bahwa bidadari itu putih suci terjaga dari jamahan tangan, makanya orang arab tatkala mengungkapkan sesuatu yang bagus dan bersih mereka menggunakan permisalan ini yaitu bagaikan telur yang terbungkus selaputnya[25].
Dikatakan pula oleh imam ath-Thabariy bahwa putih disini bermakna lembutnya kulit bidadari itu seperti selaput putih yang ada dibagian dalam kulit atau cangkang telor, beliau membawakan hadits dengan sanadnya dari Ummu Salamah tatkala bertanya tentang tafsir كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ lalu Rasulullah ﷺpun menjawab:
رِقَّتُهُنَّ كَرِقَّةِ الْجِلْدَةِ الَّتِي رَأَيْتُهَا فِي دَاخِلِ الْبَيْضَةِ الَّتِي تَلِي الْقِشْرَ وَهِيَ الْغِرْقِيءُ
“Lembutnya kulit mereka seperti lembutnya selaput kulit putih yang dapat engkau lihat didalam cangkang telur yaitu ghirqi’“[26].
Allah juga ﷻ berfirman:
حُورٌ مَّقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ ] الرحمن:72[
“(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah”.(Q.S ar-Rahman[55]: 72)
Ad-Dhahak berkata: “mereka para bidadari tidak keluar dari rumah-rumah mereka“. Al-Hasan berkata: “bidadari itu menjadi pingitan yaitu tidak berkeliaran dijalan-jalan”.[27]
Perlu kita ketahui bahwa rumah atau istana seorang mu’min disyurga seluas perjalan dengan kuda kencang selama tiga hari yang didalamnya terdapat sungai-sungai, dan taman-taman yang telah Allah siapkan sebagai pemulyaan, seperti yang dikatakan oleh Qatadah[28]. Makanya kata pingitan dalam pada ayat diatas tidak menafikan bahwa bidadari itu tidak keluar ketaman-taman mereka[29].
Gadis-gadis syurga ini selalu berada dirumah dalam menjaga kehormatan mereka dan kehormatan suami mereka, hal seperti ini yang rasanya sangat berat diteladani oleh wanita-wanita dunia kecuali yang diberi rahmat oleh Allah ﷻ seperti riwayat berikut:
وروي عن أسماء بنت يزيد الأشهلية أنها أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله! إنا معشر النساء محصورات مقصورات، قواعد بيوتكم وحوامل أولادكم، فهل نشارككم في الأجر؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “نعم إذا أحسنتن تبعل أزواجكن وطلبتن مرضاتهم.
Telah diriwayatkan dari Asma’ binti Yazid al-asyhaliyah bahwasanya dia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “wahai Rasulullah …, sesungguhnya kami para wanita terbatas menjaga rumah-rumah kalian dan mengandung anak-anak kalian, apakah kami ikut serta dalam perihal pahala? Maka Nabi pun menjawab: ya, jika kalian berbuat baik dalam berhubungan dengan suami dan kalian meminta kepada mereka ridha mereka“[30].
- Keperawanannya
Bukan sekedar cantik jelita atau gemulai lembut dan sebagainya, bahkan kemulyaan bidadari syurga lebih dari itu. Mereka masih murni gadis dan belum pernah disentuh oleh siapapun, karena apalah arti kecantikan dan keelokan kalau hakikatnya sudah dijamah oleh orang lain? Maka dalam hal keutamaan ini –perawan- Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada Jabir-Radiyallahu ‘anhu- saat dia menikahi seorang janda:
هَلَّا بِكْرًا تُلَاعِبُهَا وتُلَاعِبُكَ؟
Mengapa bukan gadis perawan, engkau bercumbu dengannya dan dia bercumbu denganmu? (Riwayat al-Bukhariy, no. 5079, Kitab an-nikah bab menikahi janda).[31]
Dalil bahwa bidadari itu perawan adalah firman Allah ﷻ:
فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ ]سورة الرحمن الآية:56].
“di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin”. (Q.S ar-Rahman[55]: 56).
Ada beberapa makna الَّطمْثُ didalam bahasa arab diantara lain المَسُّ yaitu menyentuh[32] dan دم الحيض yaitu darah haid[33], juga bisa sebagai kiasan yang bermakna jimak jika dikata طمس الرجل المرأة “seorang lelaki menyentuh wanita” maka sentuh disini bermakna jimak[34]. Makna terakhir ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh imam ath-Thabariy tentang makna sentuh diayat ini, beliau berkata: arti sentuhan disini adalah nikah dengan pendarahan[35], dikalangan ahlu bahasa berkata: الطمث adalah darah, dan dikatakan طمث jika seorang melakukan nikah (jimak) hingga mengeluarkan darah. Adapun yang dimaksud dalam ayat ini adalah tidak ada yang pernah menyetubuhi mereka baik dari kalangan manusia ataupun jin[36].
Ayat lain yang berkaitan dengan tafsir diatas adalah firman Allah ﷻ :
وَكَوَاعِبَ أَتْرَاباً] سورة النبأ الآية :33].
“dan gadis-gadis remaja yang sebaya”. (Q.S an-Naba'[78]: 33).
Ibnu Qayyim berkata: “Allah telah mensifati mereka dengan كواعب yaitu wanita yang buah dadanya montok, bulat dan tidak kendor kebawah dan ini diantara salah satu sifat terindah pada wanita”[37]
- Bening bagaikan permata
كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ]الرحمن:58[
“seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan“.(Q.S ar-Rahman[55]: 58)
Dalam mentafsirkan ayat ini Imam ath-Thabariy membawakan sebuah hadits dengan sanadnya dari Ibnu Mas’ud sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ الْمَرْأَةَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لِيُرَى بَيَاضُ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ سَبْعِينَ حُلَّةً مِنْ حَرِيرٍ وَمُخُّهَا ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ : {كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ}. أَمَّا الْيَاقُوتُ فَإِنَّهُ لَوْ أَدْخَلْتَ فِيهِ سِلْكًا ثُمَّ اسْتَصْفَيْتَهُ لَرَأَيْتَهُ مِنْ وَرَائِهِ.
yang artinya:” sesungguhnya putih dan sumsum betisnya bidadari syurga itu dapat terlihat dari balik tujuh puluh helai sutra dari itulah Allah berfirman: mereka seperti permata yaqut dan marjan, adapun permata yaqut jika engkau masukkan dawai kedalamnya kemudian engkau gosok hingga mengkilau maka engkau akan melihat dawai itu dari balik sisinya”. Sementara dari Qatadah beliau berkata: “bidadari itu dipermisalkan dengan beningnya yaqut dan putih mutiara”[38].
Begitu beningnya dari pada betis tersebut hingga dikutip oleh al-Qurtubiy perkataan ‘Amr bin Maymun bahwa sumsum betis bidadari itu terlihat tembus seperti nampaknya minuman yang berwarna merah dalam gelas kaca[39].
Terkait ayat ini Ibnu Katsir dalam tafsirnya[40] membawakan hadits yang artinya sebagai berikut: “Sungguh kelompok pertama yang masuk syurga itu seperti rembulan dimalam hari, dan kelompok berikutnya bagaikan cahaya bintang dilangit, setiap orang memiliki dua istri yang sumsum betisnya terlihat menembus daging dan disyurga itu tidak ada bujangan”. (Muslim no. 2834, kitab syurga, sifat kenikmatannya dan penghuninya, bab awal kelompok masuk surga)[41].
E. Hikmah Penciptaan Bidadari
Selain sebagai targib atau motivasi agar manusia melakukan kebajikan seperti yang dijanjikan dalam berbagai fadilah atau keutamaan dalam beramal. sebagaimana ibadah yang disyariat dalam islam haruslah terdapat didalamnya raja’, khauf dan mahabbah.
Allah menciptakan bidadari sebagai pelengkap kenikmatan syurga, tatkala penghuni syurga telah terpenuhi dengan kenikmatan ruh dan badan dari makanan, minuman tempat tinggal dan lainnya tersisa kenikmatan manusiawi sebagai penyempurna kenikmatan mereka yaitu bersenang-senang dengan wanita, oleh karenanyalah Allah berfirman وزوجناهم بحور عين dan kami kawinkan mereka dengan bidadari[42].
Al-Qurtubiy berkata dalam tafsir surat ad-Dhukhan ayat وزجناهم بحور عين54 كذلك: sebagaimana kami telah memasukan mereka kedalam syurga begitu jugalah kami muliakan mereka dengan menikahkan mereka dengan para bidadari[43]. Dan tidak tanggung-tanggungnya penghuni syurga akan dinikahkan dengan seratus bidadari dalam sehari, seperti dalam hadits:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا وَكَذَا مِنْ الْجِمَاعِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ يُعْطَى قُوَّةَ مِائَةٍ (رواه الترمذي, 2536, كتاب صفة الجنة باب ما جاء في صفة جماع أهل الجنة)
Dari Anas dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “didalam syurga seorang mu’min akan diberi kekuatan seperti ini dan seperti ini untuk melakukan hubungan intim, dikatakan kepada beliau: apakah dia sanggup ya Rasulullah? Beliau berkata: diberi seratus kekuata“[44]. (Riwayat at-Tirmidziy no.2536 kitab sifat syurga, bab sifat jimak penghuni syurga).
Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya
________________________________
[1] Terjemahan ayat-ayat diatas dinukil dari:
Al-Qur’an al-Karim wa tarjamatu ma’aniha ila al-lughati al-Indunisiyah, (Madinah, Kingdom of Saudi Arabiyah: Mujamma’ al-Malik Fahd li thiba’at al-mushaf al-syarif 1418 H), kata pengantar oleh ketua Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an Prof.R.H.A Soenarjo S.H.
[2] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya wafat 395 H, Maqayisu al-lughah (Kairo: Dar al-hadits 1429 H – 2008 M) hal. 230.
[3] Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy al-Misriy wafat 711 H, Lisan al-‘arab (Kairo: Dar al-hadits 1423 H – 2003) Jilid ke 2, hal. 651.
[4] Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib al-Ashfahaniy wafat 502 H, al-Mufradat fi gharib al-Qur’an (Kairo: Dar ibnu al-Jauziy 1433 H – 2012 M) hal. 149.
[5] Abu Nashr Ismail bin Hammad al-Juhariy wafat 393 H, ash-Shihah taju al-lughah wa shihahu al-‘arabiyah (Kairo: Dar al-hadits 1430 H – 2009 M) hal. 292.
[6] Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat 751 H, Raudatu al-muhibbin wa nuzhatu al-musytaqin (Kairo: Dar Ibnu al-Jauziy 1427 H – 2006 M) hal. 153.
[7] Ar-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, hal. 149.
[8] Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali al-Fiyumiy al-Muqriy asy-Syafi’iy wafat 770 H, al-Mishbah al-Munir fi gharib asy-syarhi al-kabir (Kairo: Dar al-hadits 1429 H – 2008 M) hal. 101.
[9] Ar-Raghib al-Ashfahaniy, al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, hal. 391.
[10] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabariy wafat 310 H, Jami’ al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an (Kairo: Dar al-hadits 1431 H – 2010 M) Jilid 9, hal. 485.
[11] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariy al-Qurtubiy wafat 671, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an (Kairo: Dar al-hadits 1431 H – 2010 M) Jilid 8, hal. 71.
[12] Ibnu Qayyim, Raudatu al-muhibbin wa nuzhatu al-musytaqin, hal. 153.
[13] Ath-Thabariy, Jami al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 9 hal. 158.
[14] Ath-Thabariy, Jami al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 10 hal. 623.
[15] As-Sa’diy, Taisir al-karim ar-Rahman fi tafsir kalam al-Mannan, hal. 798.
[16] Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat 751 H, Hadiy al-arwah ila bilad al-afrah (Makkah: Dar ‘alam al-fawaid 1431 H – 2010 M) hal. 508.
[17] Ibnu Qayyim, Hadiy al-arwah ila bilad al-afrah, hal. 510.
[18] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad al-Mahalliy wafat 864 H dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr as-syuyuthiy wafat 911 H, Tafsir al-Jalalain (Riyadh: Dar as-salam cetakan 3, 1422 H – 2002 M) hal. 14.
[19] Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub ath-Thabaraniy 360 H, al-Mu’jam al-Kabir, bab dzikru azwaji an-Nabiy hadits no. 870 (al-Musil: Maktabah al-ulum wa al-hikam 1404 H – 1983 M)
[20] Al-Qurtubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 1 hal.231.
[21] Ath-Thabariy, Jami’ al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 1 hal. 91.
[22] Syamsuddin Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr Ibnu Qayyim al-Jauziyah wafat 751 H, Hadiy al-arwah ila bilad al-afrah (Makkah: Dar ‘alam al-fawaid 1431 H – 2010 M) hal. 471.
[23] ‘abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy wafat 1476 H , Taisir al-karim ar-Rahman fi tafsir kalam al-Mannan (Beirut: Dar ibnu hazm 1424 H 2003 M) hal. 32.
[24] Ath-Thabariy, Jami’ al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 9 hal. 484.
[25] At-Qurtubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 8 hal. 71.
[26] Al-Qurtubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 9 hal. 488.
[27] Ath-Thabariy, Jami’ al-bayan ‘an ta’wil ayi al’Qur’an, Jilid 10 hal. 590.
[28] Ath-Thabariy, Jami’ al-bayan ‘an ta’wil ayi al’Qur’an, Jilid 10 hal. 593.
[29] As-Sa’diy, Taisir al-karim ar-Rahman fi tafsir kalam al-Mannan, hal. 795.
[30] Al-Qur’tubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 9 hal. 158.
[31] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin al-Bardizbah al-Bukhariy wafat 256 H, Shahih al-Bukhariy (Kairo: Maktabah al-Iman 1423 H – 2003 M) hal. 1082.
[32] Al-Jahuriy, ash-shihah, hal. 807. Ibnu Faris, Maqayis al-lughah, hal. 537.
[33] Ar-Raghib, al-Mufradat fi gharib al-Qur’an, hal. 337.
[34] Ibnu Faris, Maqayis al-lughah, hal. 537.
[35] Maksud pendarahan disini adalah darah diawal kali berhubungan sek yang menandakan keperawanan wanita.
[36] Ath-Thabariy, Jami al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 10 hal. 577-578.
[37] Ibnu Qayyim, Raudatu al-muhibbin wa nuzhatu al-musytaqin, hal. 153.
[38] Ath-Thabariy, Jami al-bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an, Jilid 10 hal. 579-580.
[39] Al-Qurtubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 9 hal. 152.
[40][40] Abu al-fida’ Ismail bin Umar bin Ktasir al-Qurasyi wafat 774 H, tafsir al-Qur’an al-‘adzim (Riyadh: Dar ath-thayyibah 1430 H – 2009 M) Jilid 4 hal. 505.
[41] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairiy an-Naisaburiy wafat 261 H, Shahu Muslim (Beirut: Dar Ibnu hazm 1430 H – 2010 M) hal. 1221.
[42] As-Sa’diy, Taisir al-karim ar-Rahman fi tafsir kalam al-Mannan, hal. 780.
[43] Al-Qurtubiy, al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Jilid 8 hal. 454.
[44] Ahmad bin Isa bin Surah abi Isa at-Tirmidziy wafat 279 H, al-Jami’ ash-shahih Sunan at-Tirmidziy (Kairo: Dar ibnu al-Jauziy 1432 H – 2011 M) hal. 462.