TAFSIR AL-ISTI’ADZAH
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari syaithân yang terkutuk”
Pembahasan tafsir al-Isti’âdzah ini akan mencakup empat bahasan:
- Makna isti’âdzah.
- Lafadhz-lafadhz isti’âdzah.
- Rukun-rukun isti’âdzah.
- Kondisi-kondisi yang dianjurkan membaca isti’âdzah.
A. Makna Isti’âdzah, Syaithân dan Rajîm.
Isti’âdzah Secara bahasa
Isti’âdzah berasal dari kata عوذ yang dikatakan oleh ibnu Fâris[1] bahwasanya huruf a’in, waw dan dzâl dasar kata yang memiliki satu makna yaitu الالتجاء yang artinya perlindungan[2].
Isti’âdzah Secara istilah
Ada beberapa istilah yang diungkapkan oleh para ulama tentang makna isti’âdzah ini, antaranya;
Definisi Ath-Thabariy –rahimahullah– , beliau berkata:
والاستعاذة: الاستجارة. وتأويل قول القائل: {أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ} أستجيرُ بالله – دون غيره من سائر خلقه – من الشيطان أن يضرَّني في ديني، أو يصدَّني عن حق يلزَمُني لرَبي.
Isti’âdzah adalah memohon perlindungan, dan tafsirnya adalah aku memohon perlindungan kepada Allah -dari selainNya yaitu seluruh makhlukNya- dari syaithân agar tidak mencelakakan aku akan agamaku dan memalingkan aku dari sesuatu hak yang diharuskan untuk rabbku.”[3]
Definisi Ibnu Katsîr –rahimahullah– , beliau berkata:
ومعنى أعوذ بالله من الشيطان الرجيم أي أستجير بجناب الله من الشيطان الرجيم أن يضرني في ديني أو دنياي أو يصدني عن فعل ما أمرت به أو يحثني على فعل ما نهيت عنه فإن الشيطان لا يكفه عن الإنسان إلا الله
“Makna isti’âdzah adalah aku berlindung disisi Allah dari syaithân yang terkutuk yang hendak mencelakakan dunia dan agamaku, atau hendak memalingkanku dari perbuatan yang telah diperintahkan, atau hendak menyuruhku untuk melakukan perbuatan yang dilarang, sesungguhnya tidak ada yang bisa mencegah syaithân untuk mengganggu manusia kecuali Allah.”[4]
Syaithân secara bahasa
Berasal dari kata شَطَنَ yang menunjukkan arti jauh, oleh karena itu dinamakan syaithân karena pembangkangan dan jauhnya dia dari kebenaran.[5]
Syaithân secara istilah
Ath-Thabariy –rahimahullah- mengatakan:
والشيطان، في كلام العرب: كل متمرِّد من الجن والإنس والدوابِّ وكل شيء. وكذلك قال ربّنا جل ثناؤه: {وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ} [سورة الأنعام: 112] ، فجعل من الإنس شياطينَ، مثلَ الذي جعل من الجنّ.
“Syaithân adalah segala sesuatu yang membangkan dari kalangan jin, manusia, binatang dan lainnya. Yang demikian itu Allah berfirman: “demikianlah kami jadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan syaithân manusia dan syaithân jin”, maka Allah telah jadikan syaithân dari kalangan manusia sebagaimana telah dijadikan syaithân dari kalangan jin.”[6]
Ar-Rajîm secara bahasa
Berasal dari رجم yang bermakna رمى melempar[7], baik melempar dengan perbuatan atau melontar dengan perkataan. Kenapa syaithân disifati ar-rajîm, karena Allah telah mengusirnya dan melemparinya dengan bintang.[8]
Ar-Rajîm secara istilah
Ar-Rajîm bermakna yang dilaknat dan yang dicaci (اَلْمَلْعُوْنُ اَلْمَشْتُوْمُ).[9]
B. Lafadz Isti’âdzah
Berikut adalah beberapa lafadz Isti’âdzah:
- A’ûdzu billâhi minasy-syaithânirrajîm.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah dari syaithân yang terkutuk”
Lafadz ini memiliki dasar dalil Al-Qur’an sebagaimana pada surat An-Nahl ayat 98, Allah Tabâraka wa ta’âla berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Q.S An-Nahl [16]:98).
adapun dari hadits terdapat dalil sebagaimana berikut:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَجِيْمِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ فَقَالُوا لَهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَقَالَ وَهَلْ بِي جُنُونٌ.
“Dari Sulaiman bin Shurad berkata: dahulu aku duduk bersama Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ada dua orang lelaki yang saling mencaci sehingga memerah salah satu wajahnya dan urat lehernyapun menegang, maka Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: sungguh aku mengetahui sebuah kalimat yang jika dia baca maka akan hilang apa yang ada pada dirinya, jikalah dia membaca “a’ûdzubillahi minasy-syaithânirrajîm” maka apa yang ada padanya (marah) akan hilang. Beberapa shahabat berkata kepada lelaki itu: sesungguhnya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: berlindunglah kepada Allah dari syaithân! Lalu lelaki itu berkata: apakah saya ini gila” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
- A’ûdzu billahis-samî’il ‘âlîm minasy-syaithânirrajîm.
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui, dari syaithân yang terkutuk”
- A’ûdzu billahis-samî’il ‘âlîm minasy-syaithânirrajîm, min hamzihi wa naftsihi wa nafkhihi.
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ ، وَنَفْثِهِ ، وَنَفْخِهِ.
“Aku berlindung kepada Allah yang maha mendengar lagi maha mengetahui, dari kegilaan, tiupan dan kesombongan syaithân yang terkutuk ” (H.R Ahmad).
Dua lafadz diatas (2,3) memiliki dasar sebagai berikut, firman Allah Ta’âla:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Dia maha mendengar dan maha mengetahui”. (Q.S Al-A’râf [7]:200).
Adapun dalil dari hadits adalah:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنَ الشَّيْطَانِ مِنْ هَمْزِهِ، وَنَفْثِهِ، وَنَفْخِهِ قَالَ : وَهَمْزُهُ : الْمُوتَةُ ، وَنَفْثُهُ : الشِّعْرُ ، وَنَفْخُهُ : الْكِبْرِيَاءُ.
“Dari Abdullah bin Mas’ûd dari Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesungguhnya beliau berlindung dari kegilaan, tiupan dan kesombongan syaithân yang terkutuk. Beliau berkata: Hamzuhu ialah mati karena ganguan syaithân, naftsuhu ialah syair dan nafkhuhu ialah kesombongan” (H.R Ahmad).
C. Rukun-rukun Isti’âdzah[10]
Isti’âdzah memiliki lima rukun, antara lain:
- صِيْغَةُ الْاِسْتِعَاذَةِ Bentuk lafadzhnya.
- اَلْمُسْتَعِيْذُ Al-Mustaîdz (yang meminta perlindungan), dialah orang mukmin yang ridha kepada Allah sebagai rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai nabi dan rasulNya. Yang mana dia mengucapkan isti’âdzah dengan lisan dan hatinya, dan dia yakin bahwa isti’âdzah ini akan melindunginya dari syaithân dengan izin Allah.
- اَلْمُسْتَعَاذُ بِهِ Al-Musta’âdz bihi (yang diminta perlindungan) yaitu Allah, baik berkait dengan asma dan sifat-sifatNya ataupun kalimatNya. Seperti;
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ, قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ, أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.
Sementara al-Musta’âdz bihi berupa orang yang sudah mati atau orang hidup yang jauh dan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan maka ini adalah sebuah kesyirikan. Adapun berlindung kepada sesuatu yang memungkinkan dari kalangan makhluk seperti manusia atau tempat yang bisa melindunginya maka ini diperbolehkan,[11] dalilnya adalah hadits Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
ستكون فتن القاعد فيها خير من القائم والقائم فيها خير من الماشي والماشي فيها خير من الساعي ومن يشرف لها تستشرفه ومن وجد ملجأ أو معاذا فليعذ به
“Akan terjadi fitnah-fitnah , dimana seorang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, dan yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan dan yang berjalan lebih baik dari orang yang berusaha (berupaya mengikuti fitnah), siapa saja yang menghadapi fitnah tersebut maka hendaknya dia menghindarinya, dan siapa saja yang mendapati tempat berlindung maka berlindunglah dengannya.” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
- اَلْمُسْتَعَاذُ مِنْهُ Al-Musta’âdzu minhu (yang diminta perlindungan darinya), yaitu syaithân.
- اَلْمَطْلَبُ الَّذِي لِأَجْلِهِ الاِسْتِعَاذَةُ Permohonan dari maksud isti’âdzah yaitu keselamatan dunia dan agama dari was-was, tipu daya dan segala keburukan syaithân.
D. Berberapa kondisi yang dianjurkan beristi’âdzah.
1. Saat hendak membaca Al-Qur’an.
dalilnya:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Q.S An-Nahl [16]:98).
- Saat mendapat godaan syaithân.
dalilnya:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah, sesungguhnya Dia maha mendengar dan maha mengetahui”. (Q.S Al-A’râf [7]:200).
- Saat terjadi was-was akan keyakinannya terhadap Allah.
dalilnya:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: يأتي الشيطان أحدكم فيقول من خلق كذا وكذا ؟ حتى يقول له من خلق ربك ؟ فإذا بلغ ذلك فليستعذ بالله ولينته
“Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: syaithân akan mendatangi salah seorang diantara kalian, kemudian berkata: siapa yang menciptakan seperti ini dan seperti ini? Sampai dia berkata: siapa yang menciptakan Allah? Jika sampai hal itu maka berlindunglah kepada Allah (isti’âdzah) dan berhentilah.” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
- Saat syaithân mengganggu dalam shalat.
dalilnya:
أن عثمان بن أبي العاص أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن الشيطان قد حال بيني وبين صلاتي وقراءتي يلبسها علي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذاك شيطان يقال له خِنْزَب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثا قال ففعلت ذلك فأذهبه الله عني
“Sesungguhnya Utsman bin Abi Al-‘Ash datang kepada Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: wahai Rasulullah… sungguh syaithân telah menjadi penghalang aku antara shalatku dan bacaanku, dia membuat aku rancu. Maka Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: itu adalah syaithân yang disebut dengan khinzab, jika kamu merasakannya maka berlindunglah darinya kepada Allah dan meludahlah kesebelah kiri tiga kali. Dia berkata (Utsman): maka aku melakukannya dan Allah menghilangkannya dariku.” (H.R Muslim).
- Saat marah.
dalilnya:
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجُلَانِ يَسْتَبَّانِ فَأَحَدُهُمَا احْمَرَّ وَجْهُهُ وَانْتَفَخَتْ أَوْدَاجُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَجِيْمِ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ فَقَالُوا لَهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَقَالَ وَهَلْ بِي جُنُونٌ.
“Dari Sulaiman bin Shurad berkata: dahulu aku duduk bersama Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan ada dua orang lelaki yang saling mencaci sehingga memerah salah satu wajahnya dan urat lehernyapun menegang, maka Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: sungguh aku mengetahui sebuah kalimat yang jika dia baca maka akan hilang apa yang ada pada dirinya, jikalah dia membaca “a’ûdzubillahi minasy-syaithânirrajîm” maka apa yang ada padanya (marah) akan hilang. Beberapa shahabat berkata kepada lelaki itu: sesungguhnya Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: berlindunglah kepada Allah dari syaithân! Lalu lelaki itu berkata: apakah saya ini gila.” (H.R Al-Bukhari dan Muslim).
- Saat mimpi buruk.
dalilnya:
قال النبي صلى الله عليه و سلم: الرؤيا الصالحة من الله والحلم من الشيطان فإذا حلم أحدكم حلما يخافه فليبصق عن يساره وليتعوذ بالله من شرها فإنها لا تضره
“Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: mimpi indah itu dari Allah, dan mimpi buruk itu dari syaithân. Jika diantara kalian mimpi buruk yang menakutkan maka meludahlah kesebelah kiri dan berlindunglah kepada Allah dari keburukannya maka hal itu tak akan membahayakannya.” (H.R Al-Bukhari).
- Saat masuk masjid.
dalilnya:
عن النبى -صلى الله عليه وسلم- أنه كان إذا دخل المسجد قال « أعوذ بالله العظيم وبوجهه الكريم وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم
“Dari Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- beliau jika masuk masjid berkata: aku berlindung kepada Allah yang maha Agung dan dengan wajahnya yang mulia dan kekuasaanNya yang abadi dari syaithân yang terkutuk.” (H.R Abu Dawud).
- Saat singgah disebuah tempat.
dalilnya:
خولة بنت حكيم السلمية تقول: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من نزل منزلا ثم قال أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق لم يضره شيء حتى يرتحل من منزله ذلك
“Khaulah binti Hakim berkata: aku mendengar Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: siapa saja yang singgah disebuah tempat, kemudian dia membaca “aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari keburukan makhluk” maka tidak ada sesuatu yang akan membahayakannya sampai dia pergi dari tempat itu.” (H.R Muslim).
- Saat masuk kamar mandi.
dalilnya:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا دخل الخلاء قال اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث
Dari Anas bin Malik –Radhiyallahu ‘Anhu- berkata: Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- jika masuk kamar mandi beliau membaca “Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari syaithân lelaki dan perempuan. (H.R Al-Bukhari).
Allahu Ta’âla A’lam
Ditulis oleh Imron Rosyid Astawijaya
Pengasuh EL-HIJAZ Islamic and Arabic School
_____________________________
[1] Abu Al-Husein Ahmad bin Faris bin Zakariya w. 395 H, Maqâyîs Al-Lughah (Kairo: Dâr Al-Hadits, Cet. 2008 M) h. 622.
Lihat juga: Abu Nashr Ismâîl bin Hammâd Al-Jûhariy w. 394 H, Ash-Shihâh (Kairo: Dâr Al-Hadits, Cet. 2009 M) h.824.
Lihat juga: Abu Al-Qâsim Al-Husein bin Muhammad Ar-Râghib Al-Ashfahâniy w. 502 H, Al-Mufradât fi Gharîb Al-Qur’an (Kairo: Dâr Al-Hadits, Cet. 2012 M) h. 388.
[2] Ahmad Warson Al-Munawwir, AL-MUNAWWIR (Surabaya: PUSTAKA PROGRESSIF, Cet. 25 tahun 2002 M) h. 1254.
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr Ath-Thabariy w. 310 H, Jâmi’ Al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi Al-Qur’an (Kairo: Dâr Al-Hadits, Cet. 2010) h. 115, Jilid I.
[4] Abu Al-Fidâ’ Ismâîl bin Umar bin Katsîr Al-Qurasyiy w. 774 H, Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Adzhîm (Riyâdh: Dâr Thayyibah, Cet. 2009 M) h. 114, Jilid I, Juz I.
[5] Ibnu Fâris, Maqâyîs Al-Lughah, h. 447.
[6] Ath-Thabariy, Jâmi’ Al-Bayân, h. 115, Jilid I.
[7] Ibnu Faris, Maqâyîs Al-Lughah, h. 373.
[8] Ath-Thabariy, Jâmi’ Al-Bayân, h. 116, Jilid I.
[9] Ath-Thabariy, Jâmi’ Al-Bayân, h. 116, Jilid I.
[10] DR. Sulaimân bin Ibrâhîm Al-Lâhîm, Al-Lubâb Fi Tafsîr Al-Isti’âdzah Wa Al-Basmalah Wa Fâtihati Al-Kitab (Riyâdh: Dâr Al-Muslim, Cet. I, 1999 M) h. 22.
[11] Muhammad bin Shalih Al-Ûtsaimin, Syarhu Tsalâtsati Al-Usûl (KSA: Dâr Ats-Tsarya, Cet. II 2005 M) h. 63.